Topic
Home / Berita / Opini / Sumpah Pemuda 1928, Sebuah Visi Bukan Sekedar Romantisme

Sumpah Pemuda 1928, Sebuah Visi Bukan Sekedar Romantisme

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Kami Putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, Bangsa Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Delapan puluh tiga tahun silam ketika Indonesia masih berada dalam kekangan kolonial, para pemuda yang tergabung dalam Kongres Pemuda II merumuskan sebuah lompatan besar untuk Indonesia, sebuah mimpi masa depan Indonesia, yaitu Kemerdekaan Republik dalam makna dan semangat persatuan. Sebuah makna yang tak di sadari generasi pemuda saat ini dan sebuah semangat yang dilakukan setengah hati oleh pemuda saat ini. Setiap tahun setelah Indonesia merdeka, tanggal 28 Oktober menjadi hari peringatan Sumpah Pemuda, banyak kegiatan dilakukan untuk memperingati momentum bersejarah itu, di antaranya seminar, kajian, renungan, dan lain-lain yang intinya bertemakan semangat sumpah pemuda, dengan harapan untuk selalu menjaga dan atau membangkitkan semangat pemuda Indonesia sekaligus mengenang jasa para pahlawan. Seperti yang disebutkan di muka, berbagai peringatan seremonial yang ada seperti sebuah komedi atau teater sejarah, diadakan setiap tahun dengan berbagai konten pengulangan yang tak menghasilkan apa-apa. Maka di sinilah perlunya kita mendalami makna dan semangat persatuan dalam konteks kemerdekaan Republik sehingga kita dapat mengurai mengapa makna persatuan tak di sadari dan semangat persatuan hanya setengah hati dilakukan para pemuda saat ini.

Moh Hatta dalam pidatonya yang berjudul “Pemuda Indonesia dan Politik” memberikan beberapa alasan mengapa pemuda Indonesia kala itu – masa pra kemerdekaan, tidak seperti kebanyakan pemuda-pemuda Eropa yang memuaskan dahaga muda  dengan hanya bersekolah dan bermain. Ia mengatakan bahwa pemuda Indonesia tidak mendidik dirinya sendiri, melainkan dididik dalam kondisi dan situasi dimana ia tumbuh berkembang dan dalam masyarakat dimana ia berada. Artinya ada ruang kesadaran yang terbuka dalam benak pemuda kala itu, bahwa mereka terjajah dan mereka ingin merdeka. Sehingga tersimpulkan suatu cara untuk meraih kemerdekaan, yaitu mereka harus bergerak bersama, dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Makna persatuan ini yang menjadi cikal bakal kehadiran berbagai kelompok pemuda dari berbagai daerah dalam Kongres Pemuda II dan semangat persatuan ini yang akhirnya membuat para pemuda itu mengikrarkan kesetiaan terhadap Ibu Pertiwi. Lebih dari itu hal inilah yang membawa Indonesia merdeka sampai terbentuk Negara Kesatuan. Sebuah lompatan besar akibat kran-kran kesadaran yang terbuka.

Tetapi hari ini memperlihatkan kondisi dimana banyak para pemuda enggan untuk memikirkan Negara, mereka lebih senang memuaskan dahaga muda, sangat kontradiktif dengan masa Kolonial. Mereka secara tidak sadar telah terbelenggu oleh sebuah penjajahan non fisik yang melestarikan budaya kolonial, yaitu individualisme. Padahal era globalisasi menuntut pembacaan yang berbeda terhadap kondisi  zaman, maka perlu dilakukan revolusi cara pandang dalam diri para pemuda, revolusi yang akan menghasilkan kesadaran bahwa Indonesia hari ini pun masih belum merdeka dalam makna definitifnya. Pembukaan ruang penyadaran yang tak bisa dilakukan hanya satu hari-ketika memperingati Sumpah Pemuda 1928, yang juga tidak bisa dilakukan dalam satu wadah apalagi hanya menjadi rutinitas “bermesraan” dengan sejarah, namun setiap waktu sehingga semangat Sumpah Pemuda menginternalisasi sebagai visi bangsa ke dalam individu para pemuda. Dengan cara apa? Budaya membaca dan diskusi.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 6.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Wakil Ketua KAMMI Daerah Bogor

Lihat Juga

Kaderisasi Pemuda: Investasi Tegaknya Agama

Figure
Organization