Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Cantik

Cantik

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (kawanimut)

dakwatuna.com – Langit biru cerah tanpa sedikit pun gumpalan awan menemani. Hamparan biru bersih itu layaknya kanvas alam yang begitu luas, menggambarkan keindahan lukisan-Nya yang terekspos keeksotikkannya terlebih ketika menikmatinya dari hamparan rumput hijau yang menyalurkan kehangatan alam. Segerombolan burung merpati sesekali menghidupkan pemandangan yang penuh kedamaian itu dengan atraksi mereka. Cahaya keemasan sang mentari membuat pagi yang tenang itu begitu sempurna. Hangat… walau musim dingin telah melanda. Lalu lintas di depan rumah yang ramai berlalu lalang juga tak merusak keharmonisan pagi itu. Tenang, damai dan segar.

Salamah dan Nurhuda menikmati hari yang indah itu dengan berlari-larian di padang rumput, berkejar-kejaran dengan Nian-nian ponakan mereka yang baru saja menginjak usia empat tahun.

Wo lai..lai[1]… wo lai.. lai…” teriakan Nian-nian menghidupkan suasana pagi sambil berlari-lari ke arah Salamah dan menghamburkan diri ke pelukan bibinya yang cantik dan bermata sipit itu. Lalu berlari ke arah Huda dengan teriakan yang sama, “wo lai..lai… wo lai..lai..”. Akhir minggu yang sungguh sempurna!

Laobo.. yao dian hua….[2]” Ma, lelaki setinggi 175 cm dan berbadan tegap itu muncul dari dalam rumah, membawa telpon di tangannya.

Shei[3]?” sang istri menjawab dari arah padang rumput, tidak beranjak sedikit pun,  masih ingin menikmati kehangatan mentari yang jarang didapatkan sejak awal musim panas berlalu.

“Yu Ting a…” nama seorang gadis berdarah Cina keluar dari mulut pria penyabar itu. Aminah masih malas untuk beranjak, tapi dia juga tidak tega membiarkan suaminya berdiri begitu saja di depan pintu tanpa diacuhkan sedikit pun. Dengan malas, gadis manis berdarah Arab-Aceh itu bangkit dan meraih gagang telpon.

Assalamu’alaikum…

“Aminah… huks..huks..” suara di seberang sana tidak menjawab salam dari Aminah, yang terdengar hanya suara isak tangis. Bahkan bait demi bait kalimat yang mengucur pun tidak bisa dipahami oleh Aminah dengan sempurna. Berbicara dengan pelan-pelan saja, masih sulit bagi Aminah untuk memahami bahasa Cina yang baru didalaminya selama setahun setengah, apalagi jika berbicara dengan cepat dan diiringi isak tangis.

“Oke..oke… Kita ketemuan di rumah ku saja bagaimana?” tawar Aminah, karena sudah tidak punya ide sama sekali atas apa yang disampaikan oleh rekannya di ujung telpon sana. Sebenarnya Aminah juga agak enggan, karena dia jarang sekali punya waktu full dengan keluarganya. Hari-harinya yang sibuk sebagai peneliti di sebuah perguruan tinggi benar-benar menguras waktu dan tenaga. Hanya di akhir minggulah waktunya bersama keluarga bisa dimaksimalkan.

Hao.. deng wo yixia[4]

***

Mata Yu Ting masih sembab, dan sesekali isak tangisnya masih terdengar disela-sela ceritanya. “Please… antarkan saya berbelanja…” pinta Yu Ting sekali lagi. Berat sekali bagi Aminah untuk berkata “YA”, namun dia juga tidak bisa berkata “Tidak”. Bahkan sang suaminya yang turut mendengarkan cerita Yu Ting mendorongnya untuk pergi menemani dan menawarkan diri untuk menjaga Nian-nian selama kepergiannya. Masih berat bagi Aminah…. Tapi akhirnya dia beranjak juga dan meminta Yu Ting untuk menunggu sebentar, dia hendak mengganti baju dulu.

Jelang sepuluh menit Aminah sudah selesai berbenah. Menggunakan longdress musim panas yang penuh dengan bunga warna-warni, dilengkapi dengan jaket jeans biru muda dan pasmina berwarna merah muda lembut membuat suaminya tidak sanggup menahan diri untuk berkomentar “kamu cantik sekali…”.

Aminah tersipu malu, meraih tas coklat mungil di dinding kamar dan berpamitan dengan suaminya. Yu Ting tersenyum mengamati pasangan yang selalu romantis itu dan membayangkan, kapan kalimat seperti itu meluncur dari mulut suaminya. Dibandingkan Aminah, Yu Ting jauh lebih stylish, barang-barang yang dipakainya selalu barang yang bermerek dan pilihannya juga selalu jatuh pada model terbaru. Setiap pergantian musim dia selalu mengganti baju dan style, tidak seperti Aminah, yang jelas-jelas musim dingin malah masih menggunakan busana musim panas. Tapi setelah dipadu-padan dengan atribut musim dingin seperti ledging dan jaket jeans gantung, hasilnya memang bisa dibilang tidak mengecewakan. Bahkan Aminah tampil dengan begitu menawan.

Nian-nian terlalu asyik bermain dengan Salamah dan Nurhuda, biasanya dia selalu merengek minta ikut jika Aminah pergi keluar. Namun kali ini dia hanya melambaikan tangan dari jauh, masih sibuk berlari-larian di taman. “Pakai mobil ku saja…” ujar Yu Ting, dan membukakan pintu sedan biru nya yang diparkirkan tepat di depan rumah mungil Aminah.

Yu Ting melajukan mobilnya dengan kecepatan 70km/jam, high way cukup ramai saat itu, karena orang-orang di Taiwan memang suka memanfaatkan liburan akhir pekannya dengan berjalan-jalan keluar kota. Memilih jalur dari arah Xindian, Yu Ting berlalu ke arah Taoyuan. Rambutnya yang menyembul dari jilbab yang dipakainya berkibar-kibar tertiup angin. “Masjid Longkang yang di Zhong Li itu, di bundaran menuju ke arah Dasi kan?”, Yu Ting memastikan posisi daerah tujuan mereka. Aminah mengiyakan dan memberikan arahan detail rute jalan yang bisa dijadikan alternative. “Bagaimana nanti kalau dari sana kita ke Sogo dulu? Aku juga ingin membeli beberapa baju.” Ajak Yu Ting.

“Di belakang masjid ada pasar kok. Ada banyak baju juga di sana.”

“O…” Yu Ting menjawab pelan, tidak membayangkan dia akan menggunakan baju dari pasar nanti dengan harga sepersepuluh dari harga baju yang biasa dipakainya.

“Sampai kapan suamimu di Sudan?” Aminah mencoba membuka topik pembicaraan baru. Firman, suami Yu Ting merupakan warga asli Sudan. Mereka bertemu di lapangan bisnis, saat itu Yu Ting bekerja sebagai teller bank dan Firman seorang bisnisman yang tengah mengembangkan usaha produk herbalnya di Taiwan. Dalam proses yang tidak sampai satu tahun mereka mengikrarkan diri sebagai pasangan suami istri, dan sejak saat itu pula Yu Ting menjadi seorang muslimah. Alasannya waktu itu hanya untuk menikah dengan Firman, dan terkadang dengan sedikit merasa terpaksa dia berusaha untuk mendalami ajaran Islam, agama yang diperkenalkan suaminya. Melalui beberapa situs islami berbahasa Cina dia melahap semua hal tentang Islam, belajar shalat dan membaca Al-Quran. Waktu itu dia hanya mengikuti perkataan suaminya, “kalau kamu memilih untuk menjadi seseorang yang tidak beragama, bagaimana kamu bisa mendidik anak-anak kita nantinya? Dan apakah kamu tidak kasihan, jika mereka bingung melihat ayah dan ibunya yang berbeda?” Kalimat itulah yang membuatnya mau untuk belajar Islam, di antara kesibukannya yang sebarek-abrek. Demi anak-anaknya nanti…

Namun suaminya tidak puas sampai di situ… dia ingin Yu Ting pun menutup dirinya dengan sempurna, berhijab. Masih sulit bagi Yu Ting untuk memenuhi permintaan tersebut, karena dia harus kehilangan pekerjaannya jika memutuskan untuk memakai jilbab. Apalagi perekonomian saat ini sedang tidak stabil, bergantung kepada bisnis suaminya bukan cara yang bisa diandalkan. Hingga disepakati, setiap pergi kerja Yu Ting akan berbusana seperti sedia kalanya, namun untuk kegiatan sehari-hari baru menutup aurat.

“Bulan depan tampaknya.” Jawab Yu Ting setelah cukup lama. Aminah mencoba mencari topik baru, agar perjalanan mereka tidak dihiasi oleh hening saja.

“Setelah dua tahun lebih menjadi seorang muslimah, apakah ada perubahan berarti dalam hidupmu?”

Yu Ting tertawa mendengar pertanyaan Aminah dan menjawab, “Tentu saja… Aku tak lagi makan babi… Kemang-mana jadi vegetarian karena susah mencari daging halal… Tidak minum-minum lagi… dan ke mana-mana harus tampil tertutup begini… Semua busanaku yang seksi-seksi tidak bisa dimanfaatkan lagi.” Aminah tersenyum, walau hatinya sedih. Namun ya… tidak mudah memang. Yu Ting bahkan jauh lebih baik, dibandingkan kebanyakan mualaf lainnya yang masuk Islam hanya demi menikah. Walau masih agak ‘berat’, namun dia masih mau untuk berubah, masih mau untuk mendalami Islam lebih jauh lagi. Barangkali saja, seiring berjalannya waktu, seiring semakin bertambah pemahamannya akan Islam dia akan bermetamorfosis menjadi muslimah seutuhnya.

***

Yu Ting memilah-milah kerudung yang ada di Toko Fath, warung Indonesia yang berada di belakang masjid. Dirinya tampak kurang begitu antusias, namun dipilihnya juga beberapa jilbab segi empat dan jilbab praktis. Beberapa baju yang ada dinilainya terlalu “norak” sehingga dia tidak memilih satu pun. Aminah Cuma bisa geleng-geleng kepala dan dengan sabar mengantarkan Yu Ting hunting  baju di toko-toko yang berjejer di sepanjang pasar. Beberapa cardigan dan celana panjang Aminah pilihkan buat Yu Ting.

“Tidak transparan dan tidak membentuk badan.” berkali-kali Aminah menekankan hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam mencari pakaian. Yu Ting benar-benar tidak bisa membayangkan, bagaimana dirinya nanti. Padahal dia berusaha tampil secantik mungkin untuk membahagiakan suaminya, namun mengapa justru suaminya tidak senang?

“Ini juga bisa dipadu padakan.” Aminah mengambil bando kain berwarna merah muda, dan syal ungu yang tertata di depan toko. Di lilitkannya di atas kepala Yu Ting dan mengulurkan kain sisanya di depan dada. Yu Ting tersenyum melihat sosoknya yang tampak lebih anggun di cermin.

“Eh benar… gaya begini juga tampak lebih segar dan muda….”

“Ada banyak jilbab tutorial di YouTube. Nanti saya share-kan link nya.”

“Mmm…” Yu Ting mengangguk, tampak mulai antusias. Jilbab ternyata tidak semembosankan yang dibayangkannya.

***

“Aminah…” suara Yu Ting terdengar dari seberang telpon sana, Aminah mencoba menebak-nebak, ada apalagi kini.

“Makasih banyaak… Tadi aku dan suami pergi ke pesta, suamiku memujiku cantik sekali…. Padahal aku cuma memakai gaun putih dan jaket kulit coklat. Di tambah dengan jilbab praktis yang kita beli di pasar belakang masjid. “ Yu Ting mencoba mendeskripsikan sedetail mungkin apa yang dipakainya hari itu, yang membuat suaminya begitu bahagia dan memujinya.

“Bajunya menerawang nggak?”

“Enggak..”

“Rambutmu keluar-keluar nggak?”

“Enggak”

“Alhamdulillah… Kamu tahu mengapa suamimu bilang kamu cantik?”

“Enggak… kenapa?”

“Karena kamu sudah cantik di mata Allah… otomatis, kamu pun jadi begitu cantik di mata suamimu…”

“Ng..??” Yu Ting tidak mengerti dengan penjelasan Aminah. Lagi, Aminah cuma tersenyum, yang pastinya tidak bisa dilihat oleh Yu Ting. Senyum itu semakin merekah, ketika keyakinan muncul dalam hatinya, perlahan namun pasti… Yu Ting pasti mengerti.

— Tamat


Catatan Kaki:

[1] Saya datang… saya datang…
[2] Istriku, ada telpon.
[3] Siapa?
[4] Baiklah, tunggu saya.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (18 votes, average: 9.39 out of 5)
Loading...

Tentang

Seorang pelajar yang suka bercerita...

Lihat Juga

Mencintai Diri Sendiri

Figure
Organization