Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Petualang Cinta Bermodal Al-Qur’an

Petualang Cinta Bermodal Al-Qur’an

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Anak kecil mana yang tidak lucu? Pun juga murid-murid ku, walau mereka sudah mulai beranjak remaja bahkan sudah ada beberapa di antaranya memasuki jenjang SMP semester depan, namun bagiku mereka tetaplah anak-anak yang polos dan lugu. Kebandelan mereka di kelas dan terkadang suka malas menghafalkan ayat pendek yang ku tugaskan sedikit pun tidak mengurangi rasa sayangku kepada mereka. Walau terkadang aku suka jengkel juga, ketika mereka bersemangat menceritakan artis Korea kesukaan mereka namun tidak antusias dengan Sirah Nabawiyah yang ku coba ceritakan semenarik mungkin. Hah… salah siapa ini? Aku gurunya yang tidak bisa menciptakan suasana kelas yang asyik… atau tantangan zaman yang memang sudah sebegitu hebatnya. Terkadang aku berfikir keras, bagaimana caranya pelajaran Islam bisa disampaikan dengan metode yang sedemikian kreatifnya sehingga tidak kalah dengan Girl Generation ataupun Super Junior. Ada yang puny ide? Hmmfph…

Laoshi[1]…” Alika, gadis manis blesteran Taiwan-Pakistan mampir ke meja ku. Ku tutup bahan ajar yang baru saja kusampaikan di kelas dan membalas panggilannya dengan sebuah senyuman.

“Yaps…?” respon ku kemudian. Alika tersenyum tak kalah manisnya, dan seperti biasa agak sedikit malu-malu melanjutkan kalimatnya.

“Papa mengajak Laoshi makan malam hari ini, Laoshi sibuk nggak?”

“Makan malam?”

“Um…” Alika mengangguk mantab dan menjelaskan bahwa Papanya ingin menjamu Aa Gym, yang kebetulan diundang para pekerja ke Taiwan. Rekan-rekan pekerja di Taiwan memang rutin mengadakan tabligh akbar dan dai kondang di tanah air rutin dihadirkan untuk menarik minat para jamaah.

“Oke…” jawabku singkat. Barangkali saja Mr. Hisyam, ayahnya Alika membutuhkan penerjemah. Walau bahasa Cina ku masih sangat ala kadarnya, tapi tampaknya masih lumayan jika dibandingkan dengan Aa Gym, hehehe.

Xie-xie Laoshi…” Alika tersenyum lebar, ku tatap senyuman yang begitu manis. Alika sungguh benar-benar cantik… dengan kulit putih warisan ibunya dia memiliki bola mata yang bulat turunan dari ayahnya. Bibirnya penuh dan berwarna pink, bulu matanya lentik dan alis matanya tebal, ditambah lagi bola mata berwarna kecoklatan yang selalu berbinar-binar.

Bu ke qi…” ku colek hidungnya, dan kini dia tersenyum tersipu malu-malu.

***

“Mencari pasangan yang bagus agamanya itu sangat penting….” Mr. Hisyam memecah keheningan di dalam mobil sedan mungilnya. Hanya ada dia, aku dan Alika yang sudah tertidur. Alika duduk di depan, di sebelah Mr. Hisyam dan aku di belakang.

Sama sekali tidak ingat, tadi kami berbicara apa, hingga Mr. Hisyam bercerita panjang lebar mengenai pasangan hidup. Bahkan kini dia mulai bercerita mengenai istrinya.

“Istriku sangat parah….” Lanjutnya, menatap nanar ke arah jalan.  Sebenarnya aku tidak suka dia bercerita mengenai istrinya, namun aku pun tidak punya cara untuk menghentikannya.

“Bagaimana dia bisa memberikan pendidikan agama yang bagus untuk anak-anaknya jika dia tidak mau belajar agama dengan baik?” Keluh Mr. Hisyam. Ternyata istri Mr. Hisyam merupakan orang Taiwan yang memeluk Islam setelah menikah dengannya. Berdasarkan penuturannya, istrinya hanya sekedar bersyahadat dan tidak makan babi saja, selepasnya dia tidak mau peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan Islam yang menurutnya memberatkan. Hah… kisah yang sangat umum memang di Taiwan, pemuda ataupun pemudi yang masuk Islam hanya demi sebuah pernikahan.

“Tapi kamu kan kepala keluarga… kamu yang seharusnya mendidik, mengajarkan dan mengarahkan istrimu.” Balasku. Karena bagaimanapun.. itu tugas kepala keluarga kan? Dan sebelum memutuskan, semestinya mereka sudah paham akan menghadapi permasalahan ini?

“Kamu tidak kenal istriku… dia orangnya keras kepala sekali.” Kali ini aku tidak ingin beradu argumen lagi. Ku dengarkan saja ceritanya, barangkali dia memang butuh teman untuk berbagi unek-unek. Untungnya perjalanan dari Restoran Halal di pusat kota ke asrama ku hanya memakan waktu tiga puluh menit saja. Jadi aku tidak usah berlama-lama mendengarkan keluh kesah Mr. Hisyam.

Jazakallah…” ucapku dan mendaratkan ciuman ke pipi Alika yang masih tertidur pulas. Capek sekali tampaknya.

Waiyyaki…” balas Mr. Hisyam cepat dan memutar arah mobilnya setelah memastikan aku masuk ke dalam asrama.

Cerita Mr. Hisyam mengenai keluarganya masih terngiang-ngiang, bahkan setelah membersihkan diri dan bersiap-siap ke peraduan. Hm… tentunya ini bukan satu-satunya kasus terhadap pasangan seperti Mr. Hisyam dan istrinya. Ya Allah… berikanlah hidayah-Mu…

***

Suasana kantor masjid terasa panas, panas luar dalam padahal musim panas masih dua bulan lagi menjelang. Tidak tahu apa yang terjadi, namun segerombolan pekerja Indonesia yang aktif di masjid tengah duduk berkerumun di salah satu pojok kantor. Aku tidak tertarik dengan apa yang tengah mereka perbincangkan, makanya hanya numpang lewat saja dan mengambil tas yang tergeletak di sebelah mereka.

“Wanita sok alim ini nih salah satunya.” Seorang mbak dengan penuh amarah mengucapkan kata-kata yang penuh unsur sarkasme tersebut.

“Wah… lagi perang dunia nih kayaknya…” bisik hati kecil ku. Ku percepat langkahku dan segera pergi menyelamatkan diri. Aku paling tidak suka terlibat dengan permasalahan para pekerja, karena biasanya hanya karena permasalahan kecil yang dibesar-besarkan.

“Lihat saja kan… pasang muka tak berdosa gitu.” Kalimat memojokkan  lainnya, dari wanita yang sama tampaknya. Tidak ingin nguping, tapi terdengar.

“Yakin mbak ini?” kali ini suara Mas Ardi yang terdengar, ketua para pekerja di masjid tersebut.

“Mbak Dewi… Mbak…” terdengar suara Mas Ardi memanggil namaku. Huaaaa…. Maksud hati mau kabur malah dilibatkan gini. Sedikit enggan, kubalikkan tubuhku yang sudah sampai di depan pintu.

“Ya Mas?”

“Bisa ke sini sebentar nggak mbak?” Huks…. Gimana mau jawab tidak? Akhirnya dengan berat, ku mendekat dan duduk di antara mereka. Tatapan mata yang ada di situ tampak tidak bersahabat. Dua orang mbak-mbak, yang satu berurai air mata, yang satu membelalak ke arah ku. Mbak-mbak dan mas-mas yang hadir pun turut mengalihkan pandangan ke arah ku disertai bisik-bisik. Risih… sangat sirih sekali berada di sana.

“Ada apa mas?” tanyaku penuh basa-basi.

“Ayo mbak Ulfa silakan diklarifikasi.” Mas Ardi menujukan kalimatnya ke salah satu di antara wanita yang sedang bersengketa tersebut. Ternyata yang bernama Ulfa mbak yang tidak henti-hentinya melotot ke arah ku, dan yang tadi berkata-kata kasar. Kayaknya kata-kata kasarnya ditujukan ke mbak satunya, yang masih saja berurai air mata.

“Mas Ardi saja… emosi saya mas! Emosi!” Mas Ardi tampak enggan, namun dia tidak punya pilihan.

“Jadi begini mbak Dewi…” Mas Ardi memotong kalimatnya, menunjukkan betapa berat bagi beliau untuk melanjutkan kalimat berikutnya.

“Sebelumnya saya mohon maaf ya mbak… Tapi ini kita ingin tabayyun… dan meluruskan semua permasalahan yang ada. Apalagi berita ini sudah beredar di antara mbak-mbak, nama Mbak Dewi bisa buruk gara-gara hal ini.” Mas Ardi kembali memotong kalimatnya, dan perasaanku mulai nggak enak. Setelah berkali-kali memperbaiki posisi duduknya, akhirnya Mas Ardi menjelaskan apa yang terjadi, persengketaan antara Mbak Ulfa dan Mbak Wati. Mbak Ulfa yang dicampakkan, karena sang pria bertemu dengan Mbak Wati. Aku menyimak baik-baik dan terus menebak apa sangkut pautnya dengan diriku.

“Nah… beliau juga menyatakan, bahwa sebelum dengan mbak Wati dan mbak Ulfa, beliau memiliki hubungan khusus dengan Mbak Dewi.”

“H-E-HHHH Apa???” tanyaku terkejut

“Huh… pakai acara pura-pura terkejut lagi.” Mbak Ulfa masih saja sinis terhadapku, tampaknya dia benar-benar sakit hati dicampakkan.

“Maa-mas dan mbak-mbak semua, saya memang tidak pernah ada hubungan istimewa apapun dengan beliau. Silahkan orang yang bersangkutan di telpon dan dihadirkan ke sini… untuk mengklarifikasi semuanya. Terus terang, saya merasa dirugikan dalam hal ini.” Jawabku tegas. Rasa kesal ku telah menjalar ke ubun-ubun. Astaghfirullah … sungguh aku tidak habis pikir, bisa-bisanya orang membuat fitnah terhadap dirinya sendiri.

“Iya Mbak… Tapi kita tidak ingin hal ini menimbulkan permasalahan di masjid. Karena bagaimana pun beliau orang penting di masjid. Jangan sampai, gara-gara hal ini, beliau jadi menarik diri dari masjid.” Tambah Mas Ardi, bijaksana.

“Saya paham mas. Namun ini memang harus dituntaskan oleh orang yang bersangkutan. Mas tahu siapa saya, dan saya benar-benar tidak pernah memiliki hubungan istimewa dengan beliau. Dan kalau mbak-mbak ini sedang berseteru memperebutkan beliau, itu urusan kalian, saya jangan dibawa-bawa.” Kutatap mbak Ulfa dengan tajam, menaikkan posisiku bukan di tempat yang bisa di hujat dan dimarahi seenaknya. Kali ini matanya tidak berani lagi melotot ke arahku.

“Saayyaa..saaayyyaa juga tidak ingin masalah ini berkelanjutan…. Sayyaa… sayyaa.. huhuhuhu…” Mbak Wati yang sedari tadi diam mencoba angkat bicara, namun yang ada justru isak tangisnya yang semakin menjadi-jadi.

“Saya tidak pernah ingin merebut pacar orang… Beliau waktu itu bilang ingin menikah dengan saya… Makanya saya sambut niatnya dengan baik… karena saya juga sudah ingin menikah secepatnya…. Saya sama sekali tidak tahu… kalau ternyata beliau juga menjanjikan hal yang sama ke Mbak Ulfa dan Mbak Dewi…”

“Mbak… saya tegaskan… saya tidak punya hubungan apapun dengan beliau!” potongku kesal.  Mbak Wati tidak menggubris kalimat ku.

“Mbak-mbak ini pada tau kan kalau beliau sudah menikah? Sudah punya istri dan anak dan belum bercerai hingga detik ini??? Dan mbak-mbak tau nggak hukum di Taiwan, kalau seorang pria hanya diperbolehkan memiliki seorang istri???” Aku semakin kesal dengan “kebodohan” mereka.

“Ini saya kembalikan saja… Saya tidak mau benda suci ini justru menjadi awal persengketaan…” Mbak Wati menyodorkan sebuah Al-Qur’an terjemahan bahasa Indonesia ke Mas Ardi. Mas Ardi meminta Mbak Wati untuk tetap menyimpannya, namun beliau menolak dengan air mata yang mengalir semakin deras.

“Ho… jadi itu penyebabnya!” gumam ku dalam hati. Sekarang semua permasalahan jelas sudah!

***

“Sister… ini saya punya Al Quran dengan terjemahan bahasa Indonesia.” Adegan yang terjadi beberapa bulan yang lalu hadir kembali ke memori ku. Saat Mr. Hisyam menghampiriku yang tengah berada di ruang kantor masjid, dan menyodorkan sebuah Al-Qur’an cantik berwarna abu-abu. Ku sambut pemberiannya dengan senang hati.

“Jika ada teman-teman yang membutuhkan, mereka bisa menghubungi  nomor saya. Tinggal sms kan nama dan alamat mereka, saya akan langsung kirimkan. For free.. !” lanjutnya kali ini menyodorkan kartu namanya.

“Wow.. subhanallah… Anda juga bisa titipkan beberapa Al Quran ke saya, nanti bagi mbak-mbak yang datang ke masjid dan butuh Al Quran terjemahan bahasa Indonesia, saya tinggal kasih.”

“Tidak… kamu berikan saja nomor telpon saya, nanti saya yang akan kirim langsung ke mereka.”

“ Hm… okey…. Anda baik sekali.” Jawabku kemudian, tanpa rasa curiga apapun. Yang ada di pikiranku hanya betapa baiknya Mr. Hisyam dan sangat peduli dengan rekan-rekan muslim lainnya. Pemerintah Indonesia yang ada di Taiwan saja… belum pernah menghadiahi warganya Al Quran terjemahan bahasa Indonesia. Sedikit pun aku tidak pernah berfikir, bahwa kebaikannya itu merupakan cara untuk menggaet pekerja-pekerja dari Indonesia. Dia memang pernah menyampaikan kepadaku, bahwa dia iri dengan pria-pria yang menikahi wanita Indonesia. Karena dalam pandangannya wanita Indonesia begitu lembut, penurut, dan paham akan agama. Sosok ideal dalam bayangannya untuk menjadi ibu dari anak-anaknya. Lagi… bagiku dulu itu hanya sekedar pandangan saja… sekedar pendapat saja… Bukan sebuah obsesi yang menjadikannya orang yang berani melakukan hal-hal di luar batas.

“Laoshi……” Alika yang baru beres dari kelas berlari menuju kea rah ku, yang hendak keluar dari area masjid.

“Alika…” ku peluk gadis manis tersebut, dan seperti biasa, menghadiahkan ciuman di kedua pipi nya yang lembut. Dari kejauhan tampak sosok Mr. Hisyam, yang baru saja turun dari mobilnya. Dia datang ke masjid untuk menjemput anaknya. Dia melambai kan tangan dari jauh, tidak ku hiraukan dan buru-buru menuju pemberhentian bus.

Sembari menunggu bus datang, cepat kuraih telpon genggamku dan menelpon temanku…

“Yow… Dew-dew… ada yang bisa kubanting?” balas suara dari ujung sana.

“Hentikan penyebaran no Mr. Hisyam.. no untuk mendapatkan Al Qur’an secara gratis itu lho… “

“Wow.. ada yang serius tampaknya nih…”

“Iya pake banget… I’ll tell you later. Ini mau naik bus dulu.” Jawab ku singkat dan segera naik ke atas bus. Beep.

— Tamat


Catatan Kaki:

[1] Laoshi = guru

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (17 votes, average: 7.88 out of 5)
Loading...

Tentang

Seorang pelajar yang suka bercerita...

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization