Topic
Home / Berita / Opini / Hati-hati dengan Komersialisasi Pendidikan Berkedok Beasiswa

Hati-hati dengan Komersialisasi Pendidikan Berkedok Beasiswa

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Kondisi masyarakat Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan terutama dalam bidang pendidikan. Untuk menempuh jenjang pendidikan hingga masuk ke jenjang pendidikan tinggi saat ini begitu sulit. Hal ini salah satunya dikarenakan tingginya harga dari pendidikan itu sendiri. Masyarakat Indonesia, terutama masyarakat menengah ke bawah, masih banyak yang belum mampu menjangkau harga pendidikan yang ditawarkan oleh Perguruan Tinggi Negeri, apalagi Perguruan Tinggi Swasta. Sehingga untuk membeli pendidikan itu sendiri, masyarakat masih berpikir dua kali karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah susah, maka pendidikan yang menjadi korban sehingga tidak terlaksananya proses tersebut di masyarakat.

Dengan kondisi seperti ini, maka mulai muncul yayasan-yayasan yang menawarkan terobosan baru di bidang pendidikan untuk masyarakat menengah ke bawah. Program yang mampu memfasilitasi masyarakat yang kurang dari segi ekonomi untuk melanjutkan pendidikannya. Program yang memberikan fasilitas pendidikan secara gratis dan seolah-olah tanpa meminta balas jasa apa-apa. Program yang covernya adalah kegiatan sosial yang secara gamblang masyarakat akan sangat mudah menerimanya. Sehingga banyak masyarakat menerima program ini dengan tangan terbuka. Dan program inilah yang kebanyakan masyarakat mengenalnya dengan nama BEASISWA.

Dari sinilah mulai terjadi penyimpangan-penyimpangan dengan program tersebut. Ada beberapa yayasan yang menawarkan Beasiswa dengan sistem yang lumayan menarik. Skema yang diterapkan oleh yayasan ini adalah dengan membantu pendanaan dari perkuliahan mahasiswa di awal dengan syarat setelah menyelesaikan kuliah akan ada sumbangan yang diberikan oleh para penerima bantuan untuk yayasan. Jadi seperti ini, setelah menyelesaikan kuliah dan sudah bekerja, mereka yang menerima bantuan tadi diharapkan untuk menyetor beberapa persen dari gajinya untuk yayasan yang telah membantu.

Secara umum hal ini terkesan sangat mulia dari kedua sisi, di mana kebaikan yang diberikan oleh yayasan kepada para penerima bantuan, dan kebaikan para penerima bantuan nantinya untuk yayasan. Tidak ada celah untuk menyanggah bahwa program kegiatan ini memang sungguh sangat mulia. Tetapi ketika kita sedikit memikirkan hal ini secara mendalam, maka di sinilah terdapat kekeliruan dan hal inilah yang menjadi masalah besar, yaitu komersialisasi pendidikan.

Sedikit mengutip definisi komersialisasi di dalam kamus besar bahasa Indonesia, bahwa komersialisasi adalah proses transformasi sesuatu menjadi barang yang memiliki nilai jual atau bisa dibilang barang dagangan. Konteks menguntungkan di sini biasanya diartikan dengan keuntungan semaksimalnya. Di sinilah permasalahan mulai terjadi karena pendidikan hanya dijadikan alat untuk meraih keuntungan saja.

Selanjutnya, ketika kita kaji dari sisi penerima bantuan, dari sini terlihat bahwa sebenarnya mereka yang menerima bantuan itu sesungguhnya hanya seolah-olah menerima bantuan, karena nanti di kemudian hari mereka harus membayar apa-apa yang telah diberikan. Walau nanti ada yang akan membayar lebih dan ada juga yang membayar kurang, yang jelas apa-apa yang diberikan itu tidak gratis sepenuhnya.

Lalu ketika kita kaji dari sisi yayasan yang memberikan beasiswa, maka mereka secara tidak langsung telah mempromosikan dirinya, meninggikan nilai tawarnya dan telah merebut simpati masyarakat dengan cara gratis. Sehingga di sinilah letak kebengkokan yang ada pada sistem yang ditawarkan oleh beberapa yayasan.

Menyikapi hal tersebut, maka mari kita sama-sama TOLAK bentuk komersialisasi pendidikan model baru ini, yaitu komersialisasi pendidikan berbentuk beasiswa. Jangan pernah mau dibohongi oleh kemudahan semu yang ditawarkan, karena prinsip yang biasa mereka bangun adalah “tidak ada yang gratis di dunia ini”. Seperti inilah potret kelam pendidikan di Indonesia.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (11 votes, average: 7.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Riyan Fajri adalah mahasiswa yang kuliah di salah satu perguruan tinggi Swasta di daerah Pancoran, Jakarta Selatan. Sekarang aktif berorganisasi di KAMMI dan saat ini mendapatkan amanah menjadi Ketua Umum KAMMI Madani Periode 2011 - 2012. Kritik dan saran buat penulis, bisa di kirim ke [email protected] atau FB : Riyan Fajri ([email protected])

Lihat Juga

Tradisi Ilmu dan Pendidikan antara Islam dan Barat

Figure
Organization