Topic
Home / Berita / Opini / Proposal Palestina Merdeka ke PBB

Proposal Palestina Merdeka ke PBB

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – “Israel adalah bab terakhir dari buku kolonialisme kuno, dan satu di antara bab yang paling hitam dan paling gelap dalam sejarah manusia.” (Roeslan Abdulgani, Menlu RI dalam KAA Bandung, 1955)

Pandangan ini yang terwariskan menjadi ciri dari generasi ke generasi bangsa Indonesia untuk terus berjuang bagi kemerdekaan Palestina. Sebagaimana Presiden Soekarno yang membuat Ganefo (Games for Neo Emerging Forces) sebagai bentuk boikot terhadap Olympic Games yang melibatkan Israel. Hingga di era generasi kini, kiprah harum (alm) Ali Alatas sebagai diplomat senior yang menjabat Menlu RI. Ini yang membuat Tahir Ahmad, Kedubes Palestina mengucapkan kehilangan yang mendalam dari rakyat Palestina.

Dalam perspektif apapun, menurut saya tak satupun rakyat atau negara-bangsa di dunia ini yang dewasa, rasional, dan bernurani, akan berbeda pendapat tentang hak rakyat Palestina untuk membangun dan merayakan kemerdekaan negaranya yang layak dengan pengorbanan dan kontribusinya selama ini. Membentuk zaman baru yang mencerminkan bangsa Palestina bebas dan merdeka, setelah beberapa dekade mengalami penderitaan yang panjang.

Akan tetapi, terkait proposal Palestina Merdeka yang akan diajukan Mahmoud Abbas dan Otoritas Palestina (OP) pada tanggal 20 September 2011 ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kita perlu menyeksamai substansi dan prosesnya sehingga lebih menyempurnakan proposal tersebut untuk kemudian diajukan kepada PBB.

Pertama, proposal yang dibawa Abbas ke PBB untuk mendapatkan keanggotaan penuh bagi negara Palestina menggunakan batas teritorial tahun 1967 yang hanya mewakili 22% saja dari luas wilayah Palestina secara historis. Di sisi lain, secara otomatis Palestina akan kehilangan sisanya lagi, 78% dari luas Palestina, sekaligus menjadi legitimasi atas tanah yang dijajah Israel. Kesulitannya yang akan ditemui di masa depan ialah PBB akan memiliki dalih untuk mengharamkan bangsa Palestina untuk memintanya lagi di kancah dunia, sesuai dengan logika hukum internasional yang berlaku.

Kedua, “hadiah gratis” penyerahan 78% wilayah Palestina kepada Israel sama saja menyatakan pengakuan terhadap Israel saat menjajah di tahun 1948. Setelah Palestina mendapatkan julukan “negara” secara langsung membebaskan  Israel dari sekat-sekat yang membatasinya dan komitmen yang sudah berproses hingga 2011 ini. Israel akan terus menggunakan kebijakan represifnya kepada Palestina. Maka perlu dipastikan bahwa proposal tersebut juga tidak memberikan legitimasi bagi Israel untuk berdalih dengan keputusan internasional untuk tetap represif menghadapi negara tetangganya. Jika tetap demikian, maka sama saja membiarkan rakyat Palestina bersama pemerintahannya dalam posisi terpasung, tak berdaya dalam mewujudkan pembebasan nasional Palestina, hingga legalitasnya sirna di mata dunia internasional.

Ketiga, pilihan ke PBB untuk mendapatkan keanggotaan penuh sebagai negara pada 20 September nanti, sebaiknya di hari-hari yang tersisa ini Abbas menempuh jalan konsolidasi dan melakukan kesepakatan yang berbasis konsensus nasional Palestina, sehingga seluruh faksi atau kelompok Palestina, diluar Fatah, mendapatkan ruang usulan ataupun masukan terkait batas teritorial ataupun hak-hak sebagai sebuah negara baru.

Sebab kini Fatah sendiripun, tidak satu suara dalam menentukan pilihan tersebut. Maka tidak ada alasan yang memberatkan bagi Mahmud Abbas untuk tidak memilih konsensus nasional dalam menentukan pilihan penting ini. Justru akan memperkuat legitimasinya di mata rakyat dengan menjalankan musyawarah berskala nasional.

Solusi dua negara tiada berarti jika status “negara” diberikan pada Palestina, tanpa kota Jerusalem TImur, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan kota strategis lainnya secara penuh. Apalah artinya kedaulatan jika Israel juga diberikan hak terus-menerus mendirikan pemukiman dan tembok rasialis? Proposal tersebut ibarat bangunan tanpa pondasi, tanpa isi. Apalah artinya “negara” bila tak berdaulat atas wilayah-wilayah kekuasaannya. Karena wilayah-wilayah tersebut terkungkung dalam jeratan Israel.

Hemat kami, Pemerintah RI tetap mendukung Otoritas Palestina mendapatkan keanggotaan penuh di PBB, namun dalam beberapa waktu terakhir mereka harus berfokus pada konsolidasi internal sebagai agenda perubahan jangka panjang. Rekonsiliasi nasional Palestina yang sudah disepakati pada bulan Mei lalu diyakini oleh setiap orang Palestina sebagai prioritas kerja nasional mereka. Dengan tujuan agar bisa keluar dari krisis internal yang menyebabkan rakyat Palestina hidup dalam ketidak-pastian. Kemudian bersatu padu sebagai negara-bangsa menghadapi kekejaman Israel, tidak terpecah belah.

Pemerintah RI, juga harus mencermati beberapa catatan fundamental tersebut, sehingga keinginan Mahmud Abbas untuk pergi ke PBB pada 20 September 2011 nanti, bukanlah napak tilas dari Perjanjian Oslo yang lemah di 20 September 1993. Pemerintah RI, perlu membantu meningkatkan kepercayaan diri Otoritas  Palestina agar menempuh penyatuan langkah, demi terwujudnya capaian-capaian strategis komprehensif yang disepakati oleh semua elemen masyarakat Palestina. Langkah-langkah itu berisikan mekanisme detail untuk bisa keluar dari krisis yang akan menghantam isu Palestina dan bangsanya. Juga berisi tentang pandangan dan alternatif nasional yang bisa berinteraksi dengan fase-fase mendatang, jauh dari agenda dan intervensi pihak asing.

Pemerintah RI, yang juga merupakan bagian dari korban penyerangan Israel Defense Force (IDF) terhadap kapal misi kemanusiaan ke Gaza, harus mengambil pelajaran berharga. Merapatkan barisan bersama negara-negara yang mencintai kemanusiaan di dunia untuk mewujudkan peradaban yang lebih bersahabat. (RoL)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (10 votes, average: 9.70 out of 5)
Loading...

Lihat Juga

Opick: Jangan Berhenti Bantu Rakyat Palestina!

Figure
Organization