Topic
Home / Berita / Opini / Palestina Dalam Perspektif Hukum Internasional

Palestina Dalam Perspektif Hukum Internasional

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Peta Palestina (palestine-net.com)

dakwatuna.com – Akhir-akhir ini banyak pemberitaan di dunia internasional yang membahas tentang berakhirnya hubungan diplomatik antara Turki dengan Israel. Alasan Turki yang dikemukakan oleh Perdana Menteri Erdogan dikarenakan tindakan Israel yang telah melakukan penyerangan terhadap kapal bantuan kemanusiaan Mavi Marmara milik Turki yang sedang berada di laut bebas perairan internasional. Akibat dari serangan Israel tersebut beberapa warga Turki tewas terbunuh, permasalahannya tidak hanya banyaknya warga yang tewas melainkan tindakan Israel tersebut tidak dapat dibenarkan dalam sudut pandang apapun dalam hukum internasional.

Pertama, serangan yang dilakukan oleh Israel di laut bebas menyalahi aturan khususnya hak untuk bebas melakukan pelayaran dan memiliki hak lintas damai sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 90 United Nations Convention on the Law Of The Sea 1982 (Unclos) Konvensi Hukum Laut 1982 :

Every States, whether coastal or land-locked, has the right to sail ships flying its flag on the high seas”

Kedua, alasan self-deffense (membela diri) yang digunakan oleh Israel untuk membunuh orang-orang yang berada di dalam kapal tersebut tidak relevan dan tidak masuk akal. Sebenarnya Israel tidak perlu berlebihan karena sudah jelas dalam misi keberangkatannya menuju Gaza adalah untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan sudah dengan jelas diumumkan sebelumnya tidak ada satu pun benda berbahan peledak di dalam kapal mavi marmara.

Ketiga, blokade yang dilakukan Israel terhadap warga Gaza Palestina sebenarnya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran HAM tersebut terlihat dari blokade yang dilakukan oleh Israel mengakibatkan banyak warga Gaza Palestina mengalami gizi buruk dan banyak penyakit, artinya blokade tidak dilakukan dengan cara damai. Blokade adalah upaya sengketa internasional berupa pengepungan suatu wilayah kota atau pelabuhan untuk memutuskan komunikasi dengan dunia luar, walau blokade merupakan tindakan yang diakui oleh hukum internasional akan tetapi tidak dibenarkan jika terjadi krisis gizi buruk dan krisis pangan, apalagi sampai dengan mengakibatkan penderitaan dan menjatuhkan banyak korban yang tidak perlu.

 

Dari beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Israel, maka Pemerintah Turki melalui Perdana Menterinya Erdogan menyatakan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel, (persona non grata) yaitu tindakan hukum yang dikeluarkan oleh negara penerima dalam hal ini Turki tidak mengakui perwakilan dari negara pengirim dalam hal ini Israel dengan alasan tidak disukai atas tindakan-tindakannya ataupun tindakan negaranya (Israel) terhadap apa yang telah dilakukan pada warga negara Turki. Hal inilah penyebab berakhirnya hubungan diplomatik antara kedua negara tersebut. Persona non grata merupakan tindakan hukum yang sah dan diakui dalam hukum internasional yang tercantum dalam Pasal 9 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, tindakan Turki tersebut dinilai sangat tepat karena sebagai negara yang berdaulat dan memiliki pemerintahan, idealnya sebagai kepala pemerintahan, Erdogan memiliki tanggung jawab moral dan politik terhadap warga negaranya atas tindakan Israel.

Sejak banyaknya negara-negara dan berbagai macam organisasi internasional yang mendukung kemerdekaan Palestina, tetapi sampai hari ini tidak sama sekali merubah wajah Palestina. Berbicara mengenai negara, maka langkah awal yang harus kita ketahui bersama adalah syarat tentang pembentukan suatu negara itu sendiri. Selanjutnya untuk dikatakan sebagai negara haruslah memenuhi unsur-unsur tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tersebut adalah adanya wilayah, penduduk dan pemerintahan yang sah. Hal tersebut sesuai dengan isi ketentuan yang ada di dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 :

The state as a person of international law should possess the following qualifications : (a) permanent population, (b) a defined territory, (c) government and (d) capacity to enter into relations with the other states.”

Bahkan disebutkan dalam konvensi ini ketentuan tambahan mengenai kemampuan untuk melakukan hubungan (diplomatik dan konsuler) dengan negara-negara lain.

 

Berdasarkan ketentuan Konvensi Montevideo 1933 kita bisa mengambil sedikitnya beberapa kesimpulan hasil analisa sederhana. Pertama, Palestina jelas memiliki populasi penduduk, memiliki luas wilayah dan pemerintahan yang sedang berjalan menggerakkan roda pemerintahannya. Kedua, Palestina juga sudah mampu melakukan hubungan diplomatik dengan beberapa negara dan organisasi internasional di dunia. Ketiga, Palestina jelas sudah memiliki pemerintahan dengan mekanisme yang sebenarnya yaitu melalui mekanisme Pemilihan Umum dimana Partai Hamas yang menjadi pemenangnya, lalu bagaimanakah sebenarnya status Palestina sekarang ini menurut hukum internasional ?.

Berbicara pengakuan suatu negara, sebenarnya Indonesia sudah lama mengakui keberadaan negara Palestina. Pertama, Bukti bahwa Indonesia telah mengakui Palestina sebagai negara ditandai dengan adanya kantor perwakilan kedutaan besar Palestina di Jakarta, Indonesia. Kedua, Sejarahnya pada tanggal 16 November 1988, di Alger. Palestine National Council telah memproklamasikan kemerdekaan dan pembentukan negara Palestina, dan keesokan harinya tepat tanggal 17 November 1988 secara resmi memberikan pengakuan terhadap proklamasi tersebut. Pada akhirnya sebagai tindak lanjut dari proklamasi kemerdekaan Palestina tersebut pada tanggal 19 Oktober 1989 Menteri Luar Negeri Palestina Farouk Kaddoumi dan Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas menandatangani Komunike bersama tentang pembukaan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Palestina pada tingkat Duta Besar. Selanjutnya masih pada tanggal yang sama Menteri Luar Negeri Palestina meresmikan Kedutaan Besar Palestina di Jakarta, sedangkan Pemerintah Indonesia mengangkat Duta Besarnya di Tunisia untuk di akreditasikan (disamakan) dengan negara Palestina.

Permasalahan status Palestina sebagai suatu negara yang merdeka atau belum merdeka sebenarnya lebih kepada aspek politis dari masing-masing negara yang mengakui keberadaannya saja, contoh seperti Kosovo yang telah melakukan tindakan unilateral dengan memproklamirkan kemerdekaannya, namun sampai saat ini tetap saja tidak diakui sebagai negara oleh China dan Rusia, atau bisa kita sama-sama mengambil contoh sederhana lainnya seperti Indonesia yang mengakui Palestina sebagai negara tetapi tidak mengakui Israel sebagai negara. Sehingga permasalahan pengakuan bersifat bilateral (antar negara) bagi mereka yang mengakuinya.

Permasalahan yang sedang diupayakan oleh negara-negara di dunia saat ini sebenarnya adalah keikutsertaan Palestina menjadi anggota baru di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun anggota tetap dari Dewan Keamanan PBB seperti Amerika sudah pasti akan menggunakan hak veto nya untuk tidak memasukkan dan mengakui Palestina menjadi anggota PBB. Seharusnya niat baik dari Palestina yang ingin menjadi anggota PBB tidak boleh di halang-halangi apalagi ditolak oleh Amerika karena jelas dikatakan melanggar HAM Internasional, setiap orang maupun negara berhak mendapat kesetaraan (equality) tanpa harus melihat perbedaan agama, ras dan latar belakang etnisnya. Pada saat ini, hukum internasional telah mengakui suatu hak, yaitu hak negara untuk menentukan nasibnya sendiri (right to self-determination) sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia (HAM) internasional, Hal tersebut secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) “International Covenant on Civil and Political Rights” (ICCPR) yaitu:

“All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development”.

Artinya “berdasarkan hak ini semua bangsa (peoples) bebas untuk menentukan status politik dan mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budayanya”  Namun, dalam konteks hukum internasional kemerdekaan sebagai wujud dari hak untuk menentukan nasib sendiri “right to self-determination” (dalam bidang ekonomi, politik, dsb) dalam hal ini sangat jelas dimaksudkan untuk membebaskan Palestina dari segala macam bentuk penjajahan dan dominasi otoriter Israel.

Hukum internasional tidaklah sama dengan hukum nasional, penegakan hukum internasional dinilai sangat lemah. Maka dari itu kebanyakan para pakar hukum internasional menganggap hukum internasional bersifat primitif karena sangat bergantung kepada siapa yang melakukan penegakan hukum tersebut. Bila hukum tersebut ditegakkan oleh negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan militer seperti Amerika maka hasilnya akan efektif, sebaliknya jika hukum internasional ditegakkan oleh negara yang biasa-biasa saja maka akan sulit terciptanya keadilan di dunia internasional terlebih untuk masalah penegakan hukum Hak Asasi Manusia Internasional.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (11 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Advokat/Konsultan Hukum. Bekerja di salah satu law firm di Jakarta.

Lihat Juga

Opick: Jangan Berhenti Bantu Rakyat Palestina!

Figure
Organization