Topic
Home / Berita / Internasional / Asia / Ikhwanul Muslimin Berkembang di Arab

Ikhwanul Muslimin Berkembang di Arab

Jutaan pengunjuk rasa antipemerintah berkumpul di Tahrir Square, merayakan kemenangan revolusi Mesir pascapengumuman mundurnya Presiden Hosni Mubarak, Jumat (11/2/2011). (AFP/MARCO LONGARI/KCM)

dakwatuna.com – Dipuji sebagai fajar demokrasi di Timur Tengah, Revolusi Arab telah meningkatkan pamor Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim). Kelompok ini telah muncul sebagai kekuatan politik penting di banyak negara yang dilanda gelombang revolusi itu.

Walau mereka mempunyai kemungkinan kuat memenangi pemilu karena lemahnya persaingan, terutama di Mesir dan Tunisia, Ikhwanul diperkirakan akan mengupayakan kesepakatan untuk berbagi kekuasaan, setidaknya pada awalnya.

”Walau Ikhwanul Muslimin tidak berada di panggung utama selama gerakan protes, (organisasi itu) kini merupakan bagian penting dari spektrum politik di Mesir, Tunisia, Libya, dan di tempat lain,” kata Francois Burgat, ahli politik Islam.

”Ada kemungkinan mereka menang mayoritas dalam pemilu. Namun, baik di Tunisia maupun Mesir, mereka saat ini tidak berniat mengajukan kandidat resmi menjadi presiden,” kata Burqat, penulis bukuIslam di Masa Al Qaeda.

Mendukung demokrasi

Secara politis, Ikhwanul Muslimin, yang didirikan di Mesir tahun 1928 oleh cendekiawan Mesir Hassan al-Banna, telah menjadi gerakan Islami paling berpengaruh di dunia Arab. Mereka tetap berpegang pada moto ”Allah adalah tujuan kami/Nabi Muhammad pemimpin kami/ Quran adalah hukum kami”, tetapi kini juga mendukung demokrasi.

Sempat ditekan keras sampai gerakan rakyat menggulingkan Presiden Zine el Abidine Ben Ali di Tunisia dan Hosni Mubarak di Mesir, Ikhwanul kini muncul sebagai pemain kunci.

Lebih terorganisasi dibandingkan saingan-saingannya, Ikhwanul mendirikan Partai Kemerdekaan dan Keadilan serta untuk pemilu mendatang. Kelompok ini berencana mengajukan kandidat hanya di setengah daerah pemilihan, dan tidak mengajukan kandidat untuk pemilu presiden.

Di Tunisia, Partai Ennahda melakukan taktik yang sama. Pemimpinnya, Rachid Ghannouchi, mengatakan, ”Sebuah pemerintahan tanpa Ennahda akan sangat lemah.” Namun, ia menambahkan, gerakannya tertarik untuk ”berbagi kekuasaan”.

”Dalam jangka pendek kalau parpol lain tetap lemah, kelompok Islamis akan lebih berhasil dibandingkan partai lain dalam pemilu pertama, tetapi tidak berarti mereka akan memerintah,” kata Prof John L Esposito dari Georgetown University, penulis buku The Future of Islam.

”Perhatikan bahwa baik Ikhwanul maupun Ennahda mengatakan mereka tak mengajukan calon presiden. Kalau di masa depan, mereka bisa mendapat cukup suara untuk memerintah, itu akan menjadi hak mereka.” (AFP/DI/Egidius Patnistik/KCM)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (38 votes, average: 9.71 out of 5)
Loading...

Tentang

Tim dakwatuna adalah tim redaksi yang mengelola dakwatuna.com. Mereka terdiri dari dewan redaksi dan redaktur pelaksana dakwatuna.com

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization