Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Belajar dari Ayah

Belajar dari Ayah

Catatan Kenangan Untuk Almarhum H. Nafsih (79 Tahun)

Wafat, Selasa 14 Desember 2010 Jam 07.10 WIB

Almarhum H. Nafsih (dok pribadi)

dakwatuna.com – Aku dilahirkan di Pondok Pinang 5 Oktober 1964. Kampung ini terletak di pinggiran Jakarta Selatan dengan budayanya yang khas. Kini 40-50 persen wilayahnya menjadi Pondok Indah dan setiap RW bahkan RT sudah banyak dihuni oleh para pendatang dari berbagai daerah. Tahun 1970 an sebenarnya kampung yang aku dilahirkan itu akan dihabiskan untuk menjadi kawasan Pondok Indah, tapi warga bertahan dan “terselamatkan” oleh SK Gubernur Ali Sadikin bahwa sepanjang Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang harus dijaga sebagai cagar budaya daerah kerajinan kayu yang tidak boleh digusur. Begitu yang aku dengar ceritanya saat masih kecil.

Ayahku -kami biasa memanggilnya dengan Aba- bernama H. Nafsih bin H. Muhammad Entong, karena sudah menunaikan ibadah haji tahun 2007, banyak orang memanggilnya dengan Haji Nafsih, panggilan kecilnya Encih. Keponakan-keponakannya tidak memanggilnya dengan paman atau Encang, tapi mereka lebih suka memanggilnya dengan Aba, mungkin terasa lebih dekat di hati karena ia memang memiliki kedekatan hubungan kepada siapa saja, termasuk anak-anak kecil, apalagi keponakan, cucu dan cicit. Sejak sebelum haji, kondisi fisiknya memang sudah amat menurun termakan usia, karenanya waktu menunaikan ibadah haji bersama enyak (ibu) dan istriku, ia lebih banyak berada di kamar hotel bahkan harus dirawat di rumah sakit, thawaf dan sai pun dilakukan dengan menggunakan kursi roda.

Ibuku bernama Syarifah, pendamping setia Aba bahkan sejak awal kondisi ekonomi yang miskin membuatnya harus bekerja keras siang dan malam untuk membantu perekonomian keluarga dengan membuat kue, aku dan teman-teman sebayaku sejak usia sekolah dasar sudah harus berjualan kue keliling kampung. Ibuku amat berjasa dalam menopang perjalanan keluarga kami. Bermacam kue dibuatnya dan semua anggota keluarga membantu: kue gemblong, pisang goreng, bakwan toge, ketimus, unti, kue pisang, cucur, cincin, bugis, intil-intil, onde-onde dan sebagainya, bahkan beliau berkreasi membuat kue gupe, singkatan dari sagu dan tape yang dibuat adonan dicampur gula dan kelapa, semua ini merupakan pekerjaan sehari-hari kami sekeluarga dalam membuat kue. Aku sendiri tidak hanya membantu membuat kue dan menjualnya setiap pagi dan siang, tapi juga membeli daun pisang untuk membungkus kue. Enyak bekerja begitu keras, ia selalu tidur paling akhir hingga pukul 11 atau 12 malam bahkan sampai jam 1 karena membuat tepung yang ditumbuk halus dan ia bangun paling dulu sekitar jam 3 atau jam 4. Tak kuasa aku menahan tangis saat menulis kalimat-kalimat ini, membayangkan saat-saat sulit dalam perjalanan hidup kami, apalagi aku menulis sambil mendengarkan lagu-lagu qasidah Nur Asiah Jamil yang suka dinyanyikan Enyak sambil membuat kue dan bekerja di rumah, lagu-lagu ini ada di komputerku karena memang memiliki sarat makna seperti Ya Maulidan, menuntut ilmu, ibda’ binafsik, adikku sayang dan lain-lain.

Pendidikan Aba tidak tamat SD, tapi ia ingin anak-anaknya lebih baik dari dirinya. Ada beberapa hal yang bisa aku catat sebagai pelajaran, tidak hanya untukku dan kakak serta adik, tapi juga buat tetangga, warga dan siapa saja yang mau mengambil pelajaran dari almarhum yang sederhana. Beliau tidak punya teori-teori berat dalam menjalani hidup tapi aku rasakan ia punya prinsip yang harus dijalani.

1. Kerja Keras.

Hidup yang sulit secara ekonomi, ilmu yang tidak banyak membuatnya harus tekun pada apa yang dia bisa lakukan. Aku memang melihat dan bisa merasakan bahwa orang kampungku kalau rajin dan tidak merasa gengsi untuk berusaha niscaya tidak ada yang menganggur. Aba dan banyak bapak-bapak lain bekerja keras untuk bisa menafkahi diri dan keluarganya. Yang dilakukannya adalah menekuni kerajinan kayu dengan modal yang tidak besar, bahasa sekarang menyebutnya dengan usaha kecil.

Ketika awal-awal berumah tangga dengan anak satu atau dua, Aba bersama teman-temannya malah sampai merantau yang amat jauh untuk ukuran transportasi pada masa itu. Beliau merantau sampai ke Pontianak, Kalimantan Barat dan Sumatera Barat, ini pula yang membuatnya pandai berbahasa Minang hingga akhir hayatnya. Ust saya KH. Rahmat Abdullah yang merupakan orang Betawi Kuningan suatu ketika bertanya: “Antum betawinya dimana?”.

Saya bilang: “Pondok Pinang.”

Mendengar Pondok Pinang Ust. Rahmat yang dikenal sebagai Syaikhut Tarbiyyah mengatakan: “Orang Betawi, cuma dari Pondok Pinang yang suka merantau.”

Sesudah tidak merantau, beliau melanjutkan usahanya di Jakarta. Barang-barang kerajinan yang dibuat antara lain kastop (gantungan baju dari kayu), papan tulis, bangku bundar, meja bundar dan sebagainya. Anggota keluarga semua bekerja membantu, aku, kakak dan adik mengamplas dan melitur (mengecat) sampai jadi. Setelah proses pembuatan selesai Aba membawanya keliling dari satu kampung ke kampung lain hingga ke kota, ini disebut dengan milir karena perjalanan dagang umumnya dilakukan kearah utara.

Pelajaran yang aku dapatkan adalah untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup apapun harus dilakukan dengan kerja keras meskipun tidak mengenal waktu siang dan malam, yang penting halal.

Meskipun tidak banyak keuntungan yang beliau peroleh, tapi beliau berusaha membahagiakan kami, anak-anaknya. Tape singkong, buah semek, tengteng, kembang api dan sebagainya yang dibawa pulang dari berdagang menjadi pertanda dagangannya laris terjual, tapi tanpa membawa buah tangan meskipun pulang dengan tangan kosong pertanda jualannya tidak mencapai hasil dan barang hasil buatannya sendiri yang hendak dijual dititip ke tempat lain, di antaranya di rumah familinya di daerah Menteng Atas Tebet.   Ada saat sedikit mengalami kejayaan dari usahanya, ketika beliau mendapat pesanan membuat Meja Bundar yang tengahnya bolong untuk penyangga payung, biasa orang menggunakannya di halaman rumah makan untuk minum dan makan sambil santar, saat itulah menurut kakak saya Aba baru bisa membelikan sepeda buat anaknya. Terus terang sampai hari ini aku tidak bisa naik sepeda, Aba tidak pernah membelikan dan mengajariku naik sepeda, sementara kalau meminjam ke teman aku sangat malu, aku tidak menyesali ini.

2. Tanamkan Disiplin.

Disiplin dalam hidup merupakan sesuatu yang amat penting untuk meraih kesuksesan. Aku merasakan Aba amat menekankan kedisiplinan pada semua anak-anaknya, Ada saat ia mengomel dengan suara yang keras, jelas dan tegas. Ada saat ia tidak berkata sepatah-katapun atas apa yang tidak ia sukai, namun itu menjadi isyarat yang amat kuat bagi kami untuk menyadari kesalahan yang kami lakukan. Tapi ada saat dimana kami harus berhadapan dengan pukulan meskipun tidak berbahaya bila kami dianggap sudah keterlaluan meskipun cuma dianggap terlalu banyak main dan belum melaksanakan apa yang ditugaskannya.

Meskipun memukul apalagi “agak menyiksa” yang membuat enyak tidak tega pada anak-anaknya, tapi semua cara yang dilakukan dalam mendidik kami membuat kami jadi “kapok” untuk melakukan kesalahan dan itu semua membuat kami harus mendisiplinkan diri, disiplin tanpa omelan, apalagi pukulan dari orang tua. Ingin rasanya kami banyak main sebagaimana teman-teman lain, tapi itu tidak mungkin aku lakukan karena begitu banyak pekerjaan di rumah, meskipun tetap ada kesempatan untuk bermain bila memang pekerjaan sudah selesai.

Dulu di Pondok Pinang dan bisa jadi pada masyarakat Betawi kalau ada perkawinan orang biasa menampilkan hiburan berupa qasidah, orkes gambus, orkes melayu (sekarang dangdut), sohibul hikayat, lenong, dan yang paling sering layar tancap. Sebagai anak-anak dan remaja kami ingin sekali bisa menonton, tapi Aba menegaskan boleh nonton kalau pekerjaan di rumah sudah selesai. Karenanya kami harus bekerja serius dan cepat yakni mengamplas dan melitur agar tidak lembur sampai malam karena harus menonton. Karena sudah selesai, maka kamipun boleh nonton, bahkan Aba ikut sama-sama menonton, mungkin ini cara beliau agar kami tidak melakukan hal-hal yang tidak baik.

Dalam kaitan mendidik, Aba juga suka menceritakan sejarah saat-saat senggang, beliau ceritakan bagaimana Soekarno, M. Natsir, Syafrudin Prawiranegarag, peristiwa G 30 S PKI dan sebagainya. Bekalan disiplin dan pendidikan yang sederhana membuat kami relatif berhasil dalam menjalani kehidupan, berhasil dalam arti menjadi shalih dan memberi manfaat bagi banyak orang.

Bagi Aba, mendidik bukan hanya dengan kata-kata, tapi juga dengan contoh langsung. Salah satu yang aku rasakan adalah mendidik bersilaturahim dengan kerabat. Ketika lebaran khususnya beliau mengajak kami untuk berkunjung ke famili-familinya, anak yang banyak serta cucu yang lebih banyak membuat kami harus cari angkot yang disewa, itu pula yang membuat aku termotivasi untuk memiliki mobil sendiri, dalam kaitan memperkuat persaudaraan itu, beliau sampai membuat silsilah keluarga besar agar anak dan cucunya tetap tersambung dalam ikatan persaudaraan.

3. Kebebasan dan Kepercayaan.

Kakak, saya dan adik-adik memiliki pergaulan yang luas, mulai dari remaja di lingkungan RT, remaja masjid Darussalam, Karang Taruna, remaja masjid Ni’matul Ittihad dan sebagainya. Kakak saya Edi Sukardi (Kini menjadi Dekan di Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka atau UHAMKA) pada saat menjadi Pemuda juga aktif dalam kegiatan kesenian dengan membentuk Teater Batavia, aku memahaminya sebagai upaya beliau untuk membina para pemuda kampung melalui kegiatan seni Betawi seperti lenong, lawak dan sebagainya. Kuliahnya di IKIP Muhammadiyah membuatnya juga aktif dalam organisasi IMM dan rumah kami yang amat sederhana bahkan jelek tidak membuat kami minder bila kedatangan teman-teman, mereka justru betah dan sering bermalam di rumah. Prof. DR. Qomari Anwar, Mantan rektor Uhamka yang juga pengurus PP Muhammadiyah dalam malam takziyah menyatakan hal itu. Aku merasakan hal ini sebagai sikap terbuka dan memberi kebebasan kepada anak-anaknya dalam beraktivitas.

Sejak kelas enam Madrasah Ibtidaiyah aku sendiri sudah mulai ikut-ikutan remaja masjid Darussalam dan Karang Taruna, apalagi remaja masjid mendapat pembinaan langsung dari Mas Toto Tasmara, seorang aktivis Pemuda Masjid yang mendirikan BKPMI (Badan Komunikasi Pemuda Masjid). Banyak tokoh-tokoh pemuda masjid berskala nasional berdiskusi dan duduk bersama di masjid Darussalam yang terletak di depan rumah kami. Jimly Ash Shiddiki (Mantan Ketua MK), Tatang Natsir dan sebagainya bisa kunikmati pembicaraannya, aku banyak belajar dari suasana seperti itu. Selain itu, di Pondok Pinang waktu itu ada Ust. Drs. Nur Chozin yang amat membuka pikiran dan memberi pencerahan tentang pemahaman keislaman. Dari beliau berdua kami berinteraksi dengan remaja masjid Al Azhar Kebayoran Baru yang eksis sampai hari ini.

Ketika duduk di Madrasah Tsanawiyah aku ikut organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), suatu organisasi pelajar yang luar biasa mengarahkan perjalanan hidupku menjadi remaja yang memiliki komitmen keislaman, luas pergaulan dan wawasan serta memberi motivasi dan kemampuan kepadaku untuk maju dan sukses. Training, seminar, pelatihan dan segudang kegiatan di PII membuatku terasa lebih matang dan dewasa dari usiaku. Aku merasa “cepat tua” selama aktif di PII dari sisi sikap, pemikiran dan aktivitas.

Buku yang aku baca, ilmu yang aku dapat dari pengajian dan aktivitas organisasi, serta ceramah-ceramah yang aku dengar membuat aku memahami ada pemahaman keislaman yang lain yang tidak semua sama dengan umumnya pemahaman guru dan masyarakat di kampungku, mulailah orang-orang menganggap kami Muhammadiyah, alirannya beda dan sebagainya. Kami menikmati semua itu dan itu membuat kami banyak belajar dan tetap mencintai masjid Darussalam, tempat yang tidak hanya aku gunakan untuk shalat, tapi juga belajar dan tidur, meskipun begitu dalam perkembangannya kami juga aktif di masjid Ni’matul Ittihad karena di sana lebih diterima, manajemen masjid yang modern dan memberi pencerahan yang luar biasa dan banyak tokoh-tokoh nasional tampil sebagai penceramah dan khatib seperti Drs. H. Dahlan AS, Drs. Memet Sururi, KH. Rusyad Nurdin, KH. Kosim Nurseha, KH. Efendi Zarkasyi, DR. Mukhtar Aziz dan sebagainya.

Dalam kaitan Aba, yang Aku dapatkan darinya adalah betapa ia memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk berpikir, beraktivitas dan mencapai kemajuan, ia tidak pernah melarang kami untuk ikut kegiatan apapun, aku yakin ia begitu percaya kepada anak-anaknya bahwa kami bisa menilai mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah, karenanya iapun memberikan dukungan. Bahkan dalam situasi keamanan yang tidak mendukung dalam aktivitas dakwah pada masa orde baru dan kadang saya harus berurusan dengan pihak keamanan beliau sama sekali tidak takut akan keselamatan anaknya. Aba telah memberikan kebebasan dan kepercayaan kepada kami yang membuat kami bisa maju.

4. Pengabdian Pada Masyarakat.

Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa: “Sebaik-baik orang adalah yang paling memberi manfaat bagi orang lain.” Aku merasakan perjalanan hidup Aba menjalankan prinsip manfaat. Di lingkungan masyarakat sejak aku masih kecil sampai dewasa Aba menjadi ketua RT, ia memang tidak pandai bicara di depan umum tapi ia bekerja sebagai ketua RT dengan hasil yang bisa dirasakan oleh masyarakat sampai hari ini, misalnya pembangunan Jl. Masjid Darussalam, mempelopori penyediaan kelengkapan jenazah seperti tempat memandikan, kain kapan dan sebagainya.

Selain menjadi ketua RT beliau juga menjadi pengurus masjid, hal-hal teknis yang biasa dilakukannya. Di masjid bila ada acara-acara besar, beliau sering mendapat amanah mengurus konsumsi, apalagi dulu di rumah engkong (kakek) H. Muhammad Entong tempat menghimpun konsumsi (berkat) yang dikumpulkan dari jamaah, masyarakat amat antusias memperingati maulid, apalagi anak-anak karena ada “antri berkat” atau pembagian konsumsi berupa nasi dan lauk-pauk. Pernah aku dengar omongan seorang jamaah: “Kalau encih yang ngatur konsumsi, pokoknya beres dah.”

Selain itu, di masjid beliau juga diamanahi untuk menghitung uang dari kotak infak yang dilaksanakan dengan baik. Karena aku biasa menggelar dan melipat tikar setiap Jumat mau aku selalu menerima upah yang diberikan melalui Aba beberapa perak. Ust. H. Abdul Kholish juga menjelaskan bahwa beliau berjasa dalam mempelopori kegiatan santunan anak yatim setiap tahun. Itu hanya beberapa bentuk pengabdiannya di masyarakat yang bisa saya ceritakan, karena memang banyak aktivitasnya di masyarakat meskipun dalam lingkup yang kecil.

Salah satu yang aku kagumi dalam kaitan ini adalah Aba mengadakan tayanan (arisan) bapak-bapak dalam rangka saling tolong menolong. Beberapa tahun lalu akupun ikut menjadi anggota arisan sehingga aku masih bisa menjalin hubungan dengan bapak-bapak sahabat Aba. Karena motifnya tolong menolong, maka Aba membuat aturan dan ketentuan yang disepakati, yakni arisan memang dikocok tapi harus diprioritaskan kepada anggota yang amat membutuhkan, misalnya anggota yang sakit dan dirawat di rumah sakit harus diprioritaskan untuk mendapatkan dibanding anggota yang sakit tapi hanya berobat jalan. Bila ada anggota mau menikahkan anak (ngawinin) harus diutamakan, tapi bila ngawinin anak laki harus diprioritaskan daripada ngawinin anak perempuan, alasannya sederhana; kalau ngawinin anak laki harus membawakan duit, kalau ngawinin anak perempuan dibawain duit, begitu tradisi Betawi. Ketika aku ikut arisan dan setiap kali aku datang maka aku diminta memberikan taushiyah atau santapan rohani, sekaligus menjadi sarana bagiku untuk berdakwah kepada Aba dan teman-temannya dan menjadi uji coba penyampaian materi yang baru aku susun untuk disampaikan lagi pada forum yang lebih besar.

Salah satu yang Aba lakukan untuk memudahkan orang lain khususnya yang menjadi anggota arisan adalah patungan kerbau. Dalam tradisi Betawi Pondok Pinang, sehari atau dua hari sebelum lebaran biasanya disebut dengan harian motong kebo, karena memang anggota arisan sudah lama menabung untuk beli kebo sama-sama, karena salah satu kebutuhan lebaran adalah daging sehingga kebutuhan ini terpenuhi tanpa harus mengeluarkan uang lagi. Sekitar tahun 1975 beberapa hari sebelum lebaran Aba sudah membeli kebo yang segar dan cukup besar. Tapi Kebo itu lepas sehingga semuanya menjadi panik dan mencari ke segala penjuru kampung, aku sendiri ikut mencarinya sampai ke rumah Enyak Tua Mela (sekarang menjadi lapangan Golf Pondok Indah), biar bisa melihat agak jauh aku naik pohon jambu klutuk (jambu biji), karena buahnya sudah masak tanpa sadar memetik dan memakannya, padahal aku sedang berpuasa sehingga tidak diteruskan makannya. Keesokan harinya, penjual kebo yang tinggal di Cinere datang dengan membawa kebo itu dan ternyata kebo itu pulang ke Cinere saat talinya lepas. Suasana lebaran tempo dulu memang amat berkesan, beberapa hari sesudah lebaran biasanya Enyak masak sayur bumbu yang terdiri dari nangka muda, daun kelor dan sebagainya dan yang tidak ketinggalan adalah kikil bakar kulit kebo itu, luar biasa.

5. Menjadi Bagian Dari Solusi.

Dalam hidup ini setiap orang ada saja masalahnya dan kadangkala membutuhkan orang lain yang membantu memberi jalan keluar dan nasihat. Banyak orang yang suka ngobrol dengan Aba, mengemukakan masalah dan beliau memecahkan masalahnya dengan memberikan jalan keluar dan nasihat yang dibutuhkan. Aku banyak belajar bagaimana menghadapi masalah dan turut memecahkan, karenanya sampai hari ini banyak orang yang konsultasi kepadaku baik melalui SMS, telepon langsung, tatap muka, email atau facebook. Ada kebahagiaan tersendiri bila aku bisa memecahkan masalah orang lain, apalagi suami istri yang semula mau bercerai tidak jadi melakukannya setelah berkonsultasi.

Meskipun bisa jadi beliau juga punya masalah, namun beliau menyembunyikan masalah pribadi dan berusaha bisa menasihati orang lain untuk bisa memecahkan masalahnya. Aba telah mencontohkan kepada kami bagaimana menjadi bagian dari solusi atas persoalan orang lain, bukan malah selalu menyumbang masalah.

Aba dicintai oleh banyak orang di sekitarnya, dia bukanlah tokoh besar, hanya tokoh skala RT atau RW tapi ia berhasil membesarkan banyak tokoh. Aku terharu saat Qomari Anwar mengatakan Almarhum adalah orang tua saya. Disela-sela tangisku yang tetap kutahan agar tidak meledak, akupun melihat banyak orang yang menangisinya, tidak hanya anak, istri, adik-adik, tapi juga cucu dan keponakan yang masih kecil serta sahabat dan para tetangga. Beliau orang tua yang berhasil dengan 6 anak yang semuanya mengikuti jejak pengabdian di jalan Allah swt dan 20 cucu serta satu cicit. Selamat jalan Aba, kekurangan dan kekhilafan biasa dilakukan manusia, tapi kelebihan dan keagungan pribadi menjadi kelebihan di mata kami, Allah swt pasti mengampuni dan Aba hidup bahagia di sisi-Nya.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (29 votes, average: 8.90 out of 5)
Loading...

Tentang

Drs. H. Ahmad Yani adalah Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Dakwah (LPPD) Khairu Ummah, Ketua Majelis Dai Paguyuban Ikhlas, Ketua Redaksi�www.nuansaislam.com dan pengurus Koordinasi Dakwah Islam (KODI) DKI Jakarta. Selain itu juga sebagai anggota Majelis Syura Ikatan Dai Indonesia (IKADI). Aktif berdakwah dengan memberikan ceramah, pelatihan dai dan manajemen masjid di seluruh wilayah Indonesia, pernah juga berdakwah di Eropa dan Jepang serta televisi dan radio.� Dakwah tulisan selain melalui website juga menulis di media Islam dan menerbitkan buku yang hingga kini sudah mencapai 27 judul. Semua ini dilakukan atas hasil didikan Almarhum Aba H. Nafsih dan Ibu Hj. Syarifah. Semoga pahalanya mengalir untuk beliau.

Lihat Juga

Doa Terbaik untuk Ayahanda Harvino, Co-pilot Pesawat Lion Air dan Ayah bagi 10 Anak Yatim

Figure
Organization