Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Yang Terdustakan

Yang Terdustakan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (redbubble.com/michaelj)

dakwatuna.com – Pendar sinar matahari pagi itu sudah mulai terlihat. Meski masih malu-malu untuk menampakkan bentuknya secara utuh, namun cuaca jumat pagi itu memberikan pesan bahwa kecerahan akan menyelimuti pagi hingga sore di kota hujan ini. Yah, meskipun dibilang kota hujan, tapi tak selamanya sepanjang hari harus terguyur hujan. Dedaunan pun tak hanya butuh air untuk tumbuh dan berkembang. Pepohonan juga butuh kehangatan sinar mentari yang membuatnya berpacu untuk memberikan kesegaran bagi siapapun yang berada di sekitarnya. Di petala langit juga terlihat awan nan indah menghiasi beberapa sudut langit yang biru menyejukkan.

Aku langkahkan kakiku berangkat menuju terminal Baranangsiang pagi itu. Dengan langkah gontai aku berjalan menyusuri jalan berbatu yang masih bercampur dengan merahnya tanah kampung. Sudah bertahun-tahun jalan desa ini dibiarkan seperti itu. Tak seperti kampung sebelah yang sudah beraspal, jalan desa ini masih berlumur tanah. Pemerintah desa setempat hanya memberi bantuan berupa batu-batu kasar untuk memudahkan kendaraan berjalan terutama musim penghujan tiba. Itupun tidak semua sisi jalan tertutupi batu. Kiri dan kanan beberapa sudut jalan tetap saja masih berupa tanah merah yang kalau hujan tiba, sudah pasti akan menjadi arena kubangan lumpur yang tersebar di sepanjang jalan.

Berjalan sepanjang dua kilometer tak terasa melelahkan. Sepanjang perjalanan mata ini disuguhi pemandangan indah panorama alam desa yang indah dan menyejukkan. Meski jalan desanya masih rusak, namun view di sebelah utara itu akan menggetarkan bibir dan membuat decak kagum sesiapa saja yang melihat pemandangan itu. Puncak gunung Salak yang terlihat sangat jelas dari tempatku berjalan dihiasi padang sawah yang terhampar luar sepanjang perjalanan ditambah lagi laju hilir mudik warga yang pulang pergi ke pasar pagi itu, membuat nuansa sendiri yang membuatku merasakan betapa indahnya hidup di desa ini. Penuh kehangatan dan keunikan para penduduknya yang ramah serta jiwa pekerja keras yang kulihat dari raut wajah mereka.

Melewati pasar dekat terminal, aku lebih pelan berjalan. Genangan air di pasar, tumpukan sampah yang entah mengapa selalu ada tiap harinya serta padatnya jalan yang disesaki para penjual dan pengunjung pasar membuatku mencari celah-celah yang bisa ku lewati untuk tetap berjalan menuju terminal. Sambil kuangkat celana panjangku sampai di atas mata kaki, kadang kulangkahkan kakiku lebar-lebar untuk menghindari kubangan air. Mencari gundukan batu yang tak tergenang air comberan.

Kudengar para pedagang itu menjajakan barang dagangannya masing-masing. Meraup rezeki dalam kerumunan orang banyak tentu bukan hal sulit. Namun tidak semudah yang kita bayangkan, karena banyaknya pedagang yang menyambung nasib di sana. Sepanjang pasar ini saja aku sudah ditawari jajanan kue oleh 5 orang ibu-ibu sambil menjunjung bakulnya. Belum lagi mereka yang membuka lapak dagangannya di kios-kios pasar. Waktu pagi, biasanya memang lebih didominasi oleh penjual makanan, sayur atau lauk pauk kebutuhan dapur lainnya.

Suara-suara pedagang yang menjajakan dagangannya ditambah riuh rendah suara anak-anak penjual kantong kresek menjadi fenomena rutin yang kusaksikan tatkala melintasi pasar tersebut di pagi hari. Ah..anak-anak itu masih terlalu kecil untuk merasakan kerasnya persaingan mencari nafkah di pasar tersebut. mereka, yang seharusnya merasakan masa kecilnya dalam keceriaan, harus berjuang mengadu nasib ditempat kumuh tersebut. ironi memang, bangsa yang besar ini, yang katanya melindungi anak-anak miskin ternyata masih menyimpan dusta yang teramat dalam sampai menelantarkan mereka yang putus sekolah.

Memasuki area terminal, aku sudah melihat dari kejauhan, sekelompok remaja berpakaian putih abu-abu mengerumuni base camp tempat biasanya mereka untuk naik angkot menuju sekolah. Hal yang juga kulakukan beberapa tahun lalu saat masih berstatus sebagai pelajar SMA.

Huffh,,, aku jadi teringat masa-masa indah itu. banyak orang bilang, bahwa masa-masa di SMA adalah masa terindah dalam hidupnya, pun begitu yang aku rasakan. Tapi kini, duniaku sudah berbeda dengan mereka. Mereka yang masih memiliki harapan besar untuk menjadi orang sukses di kemudian hari. berbeda dengan aku, setelah lulus SMA, tak ada yang bisa kulakukan selain menjadi supir angkot ber strip putih biru ini. Tak ada lagi harapan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi lagi seperti teman-teman sekelasku dulu. aku hanya bisa menyesal, menggerutui diriku sendiri yang begitu bodohnya telah menyia-nyiakan kesempatan emas dulu. Parahnya lagi, bukan hanya kesempatan emas yang kusia-siakan, melainkan juga aku telah membuat hati kedua orang tuaku terluka..

Aku yang kala itu disuruh untuk mendaftar ke sebuah universitas ternama di kota ini, justru tidak mendaftarkan diri. Uang hasil keringatnya, dengan bercucur air mata dan berpeluh keringat yang membasahi kening dahinya tiap hari, aku gunakan untuk berfoya-foya. Bahkan uang yang seharusnya untuk membiayaiku melanjutkan kuliah, aku rengek-rengek agar bisa kugunakan untuk membeli sepeda motor di awal kelas 3. Betapa bodohnya aku kala itu, aku seakan tak peduli atas setiap tangis yang mereka rasakan, aku tak menghargai setiap senyum yang mereka berikan. Sungguh durhakanya aku…..

Membiarkan hati mereka tersayat-sayat saat membangunkanku shalat subuh tapi tak kunjung juga bangun. Membiarkan mereka yang tiap pagi harus pergi ke ladang, membajak sawah dan mengairinya. Membiarkan mereka bekerja disaat yang sama pula aku masih tertidur lelap. Tidur dengan nyenyak setelah semalaman bermain game di rental padahal izinnya untuk belajar bersama. Aku sangat zhalim.. . zhalim…

Kini, perasaan bersalah itu selalu menghantui pikiranku. Di saat aku mulai menyadari kesalahanku, disaat aku ingin kembali mencium kening kedua orang tuaku, di saat aku ingin bersimpuh sujud mohon maaf, aku terlambat.. Mereka telah pergi untuk selama-lamanya.

***

Kejadian itu bermula tepat setahun yang lalu. Sabtu malam, saat menjelang wisuda esok harinya, aku bersama teman-teman SMA ku melakukan balap liar di jalan raya yang baru saja di buka untuk umum. Saat malam hari, memang kendaraan yang melintas bisa dibilang cukup jarang bahkan dalam satu jam paling ada 2 atau 3 mobil yang melintas. Dengan motor yang baru saja kubeli aku ikut teman-temanku untuk balap liar di jalan tersebut. Tujuan kami memang hanya satu. Melepas malam itu dengan kenangan yang tak terlupakan, karena mungkin setelah wisuda, kami tak bisa berkumpul bersama lagi. Masing-masing akan melanjutkan ke kampus yang diingininya. Memang benar, malam itu adalah malam yang tak terlupakan bagiku. Bahkan hingga kini……

Beberapa ratus meter dari tempat kami start, aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku. Entah kenapa aku justru tidak tenang. tidak seperti biasanya aku merasakan kegelisahan seperti ini. Saat mendekati sebuah tikungan yang gelap, pikiranku semakin menerawang tak jelas, kendali emosiku juga semakin tidak stabil serta motor yang kukendaraipun tak bisa kukendalikan dengan baik. Di saat yang bersamaan, mataku mulai silau dengan sebuah cahaya terang dalam kegelapan tersebut. Awalnya hanya berupa sebuah titik kuning kecil. Lama-lama cahaya tersebut membesar dan semakin mendekatiku. Jantungku tersentak, darahku terhenyak ketika menyadari bahwa tepat satu meter di depanku, sebuah mobil truk pengangkut pasir melaju mendekatiku. Entah apa yang selanjutnya terjadi….. aku tak sadarkan diri….. aku hanya merasakan seolah-olah darahku berhenti mengalir. Sayup-sayup kudengar suara-suara orang mengerumuniku. Tapi aku tak mendengar apa ucapan mereka. Tak lama setelah itu, bunyi sirene yang biasa kudengar di puskesmas dekat rumahku makin jelas mendekati telingaku. Setelah itu, tak ada lagi raungan dan getar suara yang kudengar lagi, mataku berpejam. Gelap…..tak ada setitik cahayapun.

***

“Arya… kamu sudah siuman?”. Kudengar suara itu tepat beberapa jengkal saja dari telingaku. Kurasakan suara lembut itu mengisi kembali ruang-ruang jiwaku yang sempat hampa.

“di….di..manaa?”. Itulah kata-kata yang aku ingat untuk pertama kalinya bisa kuucapkan.

“kamu di rumah sakit, Nak”.

“i-b-u-……..”

“Sudahlah Nak, sekarang kamu istirahat dulu saja, tubuhmu masih lemah karena

banyak kehilangan darah.”

Sebuah belaian tangan seorang lelaki menyentuh dahiku, seraya berkata,

“Jangan terlalu banyak bergerak Nak. kakimu baru saja dioperasi.”

Suara itu kukenal. Suara yang seringkali melantunkan surah Ar-Rahman di sepertiga malam terakhir. Suara yang aku dengar sayup-sayup hampir tiap hari menjelang subuh itu dari kamarku. Suara yang sempat membuatku kesal karena mengganggu kenyenyakanku saat tidur. Kini, suara serak itu semakin kukenal, menyapa telingaku dengan ucapan yang begitu lembut. Tangan itu…tangan itu juga kukenal. Tangan yang kasar yang dulu sering kucium ketika berangkat sekolah. Tapi itu sudah lama sekali. Ketika aku masih SMP. Semenjak SMA tak pernah lagi kucium tangan kasar nan bertenaga itu. Tangan yang setiap harinya harus berjibaku dengan traktor sawah itu kini, membelai keningku. Aku terisak sejadi-jadinya. menyesali perbuatanku selama ini pada orang yang selalu menyayangiku. Bahkan pada saat yang seperti inipun, merekalah yang selalu berada di sampingku. Aku tertidur kembali sebelum sempat mengucapkan sesuatu pada mereka.

***

Subuh itu, mungkin sudah subuh keempat aku berada di ranjang putih rumah sakit ini. Sebuah lantunan ayat suci diperdengarkan dari masjid Rumah Sakit. entah kenapa, pagi itu yang kembali kudengar adalah surat Ar-Rahman. Surat yang sering dibaca pula oleh ayahku ketika shalat tahajjud.

“Fabiayyi AaLaa-i Rabbikuma tukadzdziban…..”

Aku masih ingat artinya saat dulu ikut pesantren kilat di SMP.

“Maka nikmat yang manakah dari Tuhanmu yang kamu dustakan.”

Aku tersentak, merenungi tiap ayat-ayat tersebut yang terus berulang-ulang sebanyak 31 kali. Menyadari betapa selama ini, aku sudah melupakan nikmat-nikmat yang Allah berikan padaku. Ia memberikan orang tua yang begitu sayang padaku. Keluarga yang selalu menyemangatiku untuk melanjutkan kuliah. Tapi betapa kufurnya aku, tak pernah mensyukuri nikmat-nikmat itu. Butiran air membentuk kawah di pelupuk mataku yang sudah siap untuk meneteskannya. Bibir yang tergentar tak mampu menghentikan isak tangisku mengingat semua perbuatan yang kulakukan pada orang tuaku. Aku menangis…

Ya, itulah tangis pertamaku menyadari kesalahanku pada orang tuaku. Aku ingat sudah berkali-kali membuat ayah yang setegar itu juga menitikkan air mata. Saat aku membuat ulah di sekolah. Berkelahi dan tawuran dengan anak SMA lain. Ayahku yang pagi itu harus memanen padinya, terpaksa harus memenuhi undangan kepala sekolahku untuk menerima surat teguran dan skorsing untukku selama dua minggu. Itulah untuk kali pertama, aku melihat ia menangis, setelah itu, mungkin ia sembunyikan air mata dalam hatinya.

Aku terpanggil dengan suara murottal itu. Aku ingin merasakan kembali sujud panjangku di seperti malam ini. Aku ingin memohon ampun pada sang Khaliq. Dengan berjalan tertatih, disertai kruk penyangga, aku berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Kucuran air di sepertiga malam itu kini menjadi saksi bahwa aku ingin bertaubat. Kubasuhkan air yang cukup dingin itu ke wajahku. Terasa seluruh sendi-sendiku ikut tersejukkan dengan air itu. Aku membayangkan wajah kedua orang tuaku yang sering sembab bercucur air mata karena kelakuanku. Astaghfirullah….

Kumulai shalat malam itu dengan sajadah terhampar di samping ranjangku.

“Allahu Akbar”

Maha Besar KeagunganMu yang telah memberi nafas setiap jiwa-jiwa yang bernyawa di muka bumi ini. Maha Besar atas KuasaMu yang telah menundukkan angin, menyejukkan kening dan dahiku dari sudut jendela kamar Rumah Sakit itu. Maha Besar PenjagaanMu senantiasa mengawasi hamba-hamba nista berlumur dosa di mika bumi ini.

Kupanjangkan do’a dalam sujudku. Mungkin inilah sujud terpanjang yang pernah kulakukan saat bersimpuh di hadapanMu. Sujud yang kurasakan begitu indah dan menenangkan batin dan jiwaku. Aku lanjutkan shalat malamku hingga empat rakaat dan diakhirkan dengan witir.

Tepat saat salam terakhirku, aku mendengar pintu kamarku terketuk, lalu perlahan terbuka. Kutolehkan pandanganku ke arah pintu masuk itu. Sesosok pria telah berdiri di depan pintu.

“Arya…”.

Baru kutahu sesaat kemudian bahwa lelaki itu adalah pamanku.

“bisakah kamu ikut paman sekarang?”

“ke mana Paman?”

“ikut saja sebentar.”

Aku merasakan ada sesuatu yang aneh. kenapa tiba-tiba paman datang menemuiku lalu memintaku untuk mengikutinya, padahal ia tahu sendiri aku masih belum boleh banyak bergerak. Dari raut wajahnya juga aku menangkap pesan kesedihan bercampur lara yang tak terbendungkan. Kami berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit dini hari itu. Aku melihat sebuah jam di sebuah sudut Rumah Sakit. Pukul 04.00 berarti sebentar lagi adzan subuh tiba. Biasanya ayah dan ibu sudah datang menemuiku saat ini. Mereka membawakanku makanan dan menemaniku paling tidak sampai pukul 06.00 pagi. karena setelah itu, mereka akan melanjutkan garapan sawahnya yang sudah terlantar semenjak menemaniku seharian selama dua hari pertama aku dirawat.

Sisi kanan dan kiri rumah sakit dipenuhi oleh keluarga pasien yang bermalam di Rumah Sakit tersebut, mereka menggelar tikar karena tidak diizinkan terlalu banyak keluarga yang menemani pasien di dalam kamar. Sesekali kudengar raungan sirene ambulance yang seolah tak berhenti bekerja bahkan hingga dini hari itu. Setelah melewati lorong itu, kami kemudian berbelok ke kanan menuju arah bangsal Teratai. Namun sebelum sampai di bangsal itu, ada sebuah lorong kecil ke arah kiri. Aku tidak habis pikir kenapa pamanku berbelok ke arah kiri tersebut, padahal itu adalah kamar jenazah. kenapa pula aku pagi-pagi buta ini diajak ke ruang tersebut. Hatiku bertanya-tanya, apa maksud pamanku itu.

Pintu kamar jenazah dibuka oleh paman, lalu kami berdua masuk. Saat dibuka, kudengar kerumunan orang banyak dengan isak tangis menyelimuti seisi ruangan itu. Tapi anehnya, kenapa ada adik-adikku dan juga keluarga kedua orangtuaku. Tetangga sebelah rumah orangtuakupun juga ada di ruangan tersebut.

“yang sabar ya, Nak…”

Bibiku mendekatiku. Kulihat adik-adikku menangis, dan matanya sudah sembab oleh linangan air mata. Aku semakin bingung. Firasatku mulai berkata aneh. Lalu dua sosok jiwa berselimut kain putih ditujukan kepadaku. Apakah mereka…? Apakah kedua sosok itu adalah…?

Belum sempat ku berpikir jauh. Paman memelukku dengan isak tangis.

“Mereka ayah dan ibumu…..”

Tulang-tulangku serasa dicopot satu persatu, hentakan jantungku serasa berhenti memompa. Darahku seakan berhenti mengalir. Bibirku bergetar berucap “innalilllahi wa innna ilaihi raaji’un”. Tubuhku melemas sambil mataku sayu bercampur air mata yang tak terbendung lagi. Ya Allah secepat itukah mereka meninggalkanku?. Saat aku belum sempat meminta maaf pada keduanya. Kudekati dua sosok berselimut putih itu.

Mereka kecelakaan saat angkot yang ditumpanginya bertabrakan dengan truk pengangkut pasir ketika berangkat menjengukku di Rumah Sakit ini. Ku tatap kedua wajah mereka dekat-dekat. Kucium kedua kening mereka.

Ya Rabb, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil. Allahummaghfir lahum, warham hum, wa akrim nuzuulahum, wa wasi’ mad kholahum, waghsil hum bil maa-i wats-tsalji wal barodi wanaqqihi minal khothooya, kamaa yunaqqos saubul abyadu minaddanaasi wa abdilhum daaron khyron min daarihim wa ahlan khoyron min ahliihim wa jauzan khoyron min jauzihim wa qiihim fitnatal qobri wa ‘azaabannnaar………

Adzan subuh berkumandang turut mengiringi kepergian mereka berdua…….

**di sudut perpus asrama, saat jingga petala langit tergantikan oleh kelam hitamnya malam
Yogyakarta, 26 Zulqaidah 1431 H

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (40 votes, average: 9.23 out of 5)
Loading...

Tentang

Lahir pada tanggal 14 Februari 1990 disebuah desa di Kabupaten Bogor, tepatnya di kawasan Parung.Saat ini sedang merantau untuk melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada dan berdomisili di asrama Lembaga Pendidikan Insani (LPI), Kompleks Gedung Gema Insani Press Yogyakarta. Sebelumnya menetap selama 3 tahun di Asrama MAN Insan Cendekia Serpong dan menjadi salah satu santri di sekolah tersebut.Salam hangat :) ....

Lihat Juga

Hati-Hati dengan Ar-Ruwaibidhah

Figure
Organization