Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Kontemporer / Penetapan Upah Minimum dalam Hubungan Industrial (Bagian ke-2)

Penetapan Upah Minimum dalam Hubungan Industrial (Bagian ke-2)

dakwatuna.com – Peranan dasar upah minimum sangat diperlukan yang pada prinsipnya sebagai berikut:

1. Memberikan perlindungan bagi pegawai/buruh berpenghasilan rendah yang dianggap rentan dalam pasar kerja;

2. Menjamin pembayaran upah yang dianggap wajar, yang tidak terbatas pada kategori pembayaran upah terendah;

3. Memberikan perlindungan dasar pada struktur upah sehingga merupakan jaring pengaman terhadap upah yang terlalu rendah;

4. Sebagai instrumen kebijakan makro ekonomis untuk mencapai tujuan nasional berupa pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, serta pemerataan penghasilan;

5. Pada umumnya untuk menjamin agar pegawai/buruh menerima pada waktu dan tempat tertentu upah yang dianggap layak;

6. Menghapuskan eksploitasi;

7. Memelihara daya beli;

8. Pengentasan kemiskinan;

9. Menghapuskan persaingan yang tidak jujur;

10. Menjamin pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama;

11. Pencegahan konflik industrial;

12. Mendukungpertumbuhandanpemerataan ekonomi.

Upah standar atau gaji yang layak yang disebut para fuqaha maksudnya ialah yang seimbang dengan jenis pekerjaan dan tanggung jawabnya, dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang terkait dengan tingkat inflasi dan indeks harga konsumen, dengan tidak merugikan pihak pekerja maupun memberatkan pihak pengusaha atau yang memperkerjakannya. Bahkan lebih dari itu, para fuqaha Islam sejak zaman tabi’in telah memperbolehkan intervensi pemerintah dalam menentukan harga sembako dan barang-barang manakala diperlukan masyarakat, meskipun dijumpai riwayat bahwa Nabi Muhammad tidak mau mematok harga pada saat masyarakat memprotes kenaikan harga secara fantastis. Anas menyebutkan bahwa pada zaman Nabi saw, harga barang-barang pernah melambung tinggi, lalu orang-orang mengadu kepada beliau, “wahai Rasulullah, tetapkanlah harga untuk kami,” lalu beliau menjawab: “sesungguhnya Allah yang menentukan harga, yang mengendalikan, yang meluaskan rezki, dan aku ingin bertemu Allah tanpa ada seorang pun di antara kamu yang menuntutku atas kezhaliman terhadap jiwa maupun harta benda.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Hadits ini menunjukkan bahwa pada dasarnya yang berlaku ialah hukum dan kebebasan pasar berdasarkan tingkat penawaran dan permintaan serta membiarkannya berjalan alamiah tanpa campur tangan dari pihak manapun. Tetapi jika pasar telah tercampuri oleh indikator dan faktor lain yang tidak wajar dari para spekulan, para penimbun dan orang-orang yang ingin mendapatkan keuntungan demi kepentingan pribadi. Demikian pula bila kepentingan masyarakat umum menghendaki turut campurnya penguasa dan penentu kebijakan untuk mematok harga, maka campur tangan mereka pada saat itu sesuai dengan semangat syariat Allah.

Menurut Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa kebijakan penentuan harga dapat masuk dalam berbagai kategori hukum. Ada yang dikategorikan zhalim dan haram, ada pula yang tergolong adil dan boleh. Apabila ketentuan tersebut bersifat merugikan dan menzhalimi orang dan memaksa mereka untuk menjual sesuatu dengan harga yang tidak mereka setujui secara suka rela, atau menghalangi mereka untuk memperoleh keuntungan yang dihalalkan Allah, maka tindakan itu haram. Namun sebaliknya, bila ketentuan dan ketetapan itu bersifat adil demi kepentingan masyarakat, seperti memaksa mereka berbuat sesuatu yang menjadi kewajiban mereka dengan imbalan yang layak dan melarang mereka melakukan sesuatu yang diharamkan atas mereka, seperti me-mark up dan menaikkan harga di atas semestinya, maka tindakan penguasa seperti itu adalah dibenarkan, bahkan hukumnya wajib.

Model pertama adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits Anas sebelumnya. Jika orang-orang menjual dagangan mereka menurut cara yang semestinya tanpa merugikan dan mengeksploitasi seorang pun, sementara harga barang-barang melambung tinggi karena sedikitnya barang dan banyaknya peminat, maka masalah ini diserahkan kepada takdir dan kehendak Allah. Dalam hal ini jika penguasa mengharuskan para penjual untuk menjual barang dan jasanya dengan harga tertentu, berarti suatu pemaksaan dan tidak dibenarkan. Adapun model kedua adalah seperti orang yang menolak untuk menjual dagangannya sementara masyarakat sangat membutuhkannya kecuali dengan harga yang melebihi harga yang wajar, maka dalam kondisi ini mereka wajib dan dipaksa menjualnya dengan harga yang wajar. Oleh karenanya, menentukan atau menetapkan harga dalam kondisi yang demikian itu berarti memberlakukan prinsip keadilan.

Sebenarnya pada zaman Nabi saw di Madinah belum pernah terjadi pematokan harga, karena pada waktu itu tidak ada orang yang bekerja membuat tepung dan roti dengan mendapatkan upah, serta tidak ada pula orang yang menjualnya. Pada umumnya mereka membeli sendiri biji-bijian lalu menggilingnya menjadi tepung dan mereka membuat roti di rumah. Biji-bijian itu pun tidak dibeli dari perseorangan secara monopoli, melainkan dari para saudagar. Karena itulah diriwayatkan dalam sebuah hadits: “Yang mendatangkan barang akan memperoleh rezeki, sedangkan yang menimbun akan dilaknat.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim). Begitu pula di Madinah, pada waktu itu belum ada tukang tenun sehingga kebutuhan mereka akan pakaian harus didatangkan dari Syam, Yaman dan wilayah lainnya.

Syaikhul Islam berkata, “barang siapa melarang menentukan patokan harga secara mutlak dengan alasan hadits Nabi saw, ‘sesungguhnya Allah-lah yang menetapkan harga’, maka dapat dikemukakan bahwa hadits ini merupakan keputusan dalam kondisi tertentu, bukan berlaku pada umumnya. Dalam hal ini kita juga tidak mendapati ketentuan yang melarang seseorang menjual sesuatu kepada orang lain yang membutuhkannya. Dan sudah dimaklumi bahwa jika suatu barang sedikit jumlahnya, timbullah kecenderungan masyarakat yang membutuhkannya untuk saling menaikkan harga. Ringkasnya, jika kemaslahatan manusia tidak terpenuhi selain dengan ditetapkannya standar harga, maka perlu ditetapkan standar harga tersebut terhadap mereka secara adil, tidak boleh kurang atau lebih. Tetapi, jika kebutuhan mereka telah terpenuhi dan kemaslahatan telah tercapai maka tidak perlu ada penetapan standar harga.”

Maka yang menjadi pangkal hukum seputar masalah penetapan standar harga barang atau jasa oleh pemerintah ialah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan menghilangkan mudarat (hal yang membahayakan atau merugikan) dari masyarakat. Jika pendapat tentang pengaturan harga barang dagangan merupakan pendapat yang mu’tabar (valid), maka diperbolehkan mengadakan penentuan upah kerja sesuai kriteria yang dikemukakan Ibnu Taimiyah, dengan alasan hal itu sangat diperlukan dan berkaitan erat dengan kemaslahatan, meskipun Rasulullah saw pernah menganggapnya sebagai kezhaliman. Karena pada asalnya segala sesuatu itu boleh (al-ashlu fil asy-ya’i al-ibahah), sebagaimana halnya segala sesuatu yang dibawa oleh syariat pada dasarnya untuk menegakkan kemaslahatan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Dari uraian saya tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa syariat memperbolehkan campur tangan pemerintah Islam untuk membatasi (menetapkan standar) upah kerja jika diperlukan dan demi pertimbangan kemaslahatan. Selain itu, juga bertujuan untuk menegakkan keadilan dan menghilangkan kezhaliman, mencegah sebab-sebab yang menjadikan pertentangan dan percekcokan, menolak mudarat yang akan terjadi pada salah satu pihak. Semua langkah itu dilakukan dengan syarat melalui pertimbangan para ahlinya dan para ahli agama yang dapat menetapkan standar upah secara adil, tanpa menganiaya para pekerja (kaum buruh) juga majikan, tanpa memihak salah satunya, sebagaimana dibolehkannya pemerintah untuk campur tangan dalam menentukan jam kerja, cuti mingguan, cuti tahunan, cuti pada waktu sakit, dan sebagainya. Campur tangan pemerintah yang dimaksud di sini misalnya yang berhubungan dengan honorarium, gaji dan tunjangan pegawai, karyawan dan buruh yang seharusnya diberikan oleh majikan sesuai dengan kondisi riil, menurut standar kelayakan umum.

Dengan demikian ketika prinsip keadilan dalam hubungan pekerja dan majikan belum terwujud dan hak-hak buruh yang semestinya belum terpenuhi secara kontinyu sementara pemerintah belum menjalankan perannya dalam hal ini maka para buruh, karyawan dan pegawai diperkenankan Islam untuk menuntut hak-hak mereka secara proporsional, adil, arif dan bijak bahkan hukumnya dapat menjadi wajib bila dikaitkan dengan penegakan kebenaran, mencegah kerusakan serta memberantas kezhaliman dan kemungkaran tanpa ditunggangi oleh kepentingan lain ataupun pretensi di luar haknya (QS. Al-Baqarah:251, An-Nahl:90-91, Ali Imran:104)

Wallahu A’lam Wa Billahit taufiq Wal Hidayah. []

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Penulis adalah Alumnus terbaik Fakultas Syariah Madinah Islamic University, Arab Saudi. Saat ini aktif sebagai Anggota Dewan Syariah Nasional dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Syuro Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Dewan Penguji Ujian Sertifikasi Akuntansi Syariah, Ketua Tim Akuntansi Zakat, anggota Komite Akuntansi Syariah Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Dewan Penguji Ujian Sertifikasi Akuntansi Syariah, Anggota Tim Koordinasi Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara dalam Valas, Anggota Tetap Tim Ahli Syariah Emisi Sukuk (Obligasi Syariah), Dewan Pakar Ikatan Ahli Ekonomi Syariah (IAEI), Dewan Pakar Shariah Economic and Banking Institute (SEBI), Anggota Tim Kajian Tafsir Tematik Lajnah Pentashih Al-Qur�an Depag, Dosen Pasca Sarjana dan Pengasuh Tetap Fikih Aktual Jaringan Trijaya FM, Pegiat Ekonomi Syariah dan Referensi Fikih Kontemporer Indonesia. Penulis juga merupakan salah satu peneliti di Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI).

Lihat Juga

APPERTI: Kebijakan Menteri Nasir Harus Dibarengi Peningkatan Kesejahteraan Dosen Lokal

Figure
Organization