Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Kontemporer / Penetapan Upah Minimum dalam Hubungan Industrial (Bagian ke-1)

Penetapan Upah Minimum dalam Hubungan Industrial (Bagian ke-1)

dakwatuna.com – Di antara doktrin syariat yang sering dilupakan, diabaikan ataupun tidak diketahui sementara orang adalah bahwa tugas pemerintah tidak terbatas hanya menjaga stabilitas keamanan dan politik dalam negeri dan menjalankan fungsi pertahanan negeri dari intervensi dan serangan asing.

Tugas pemerintah adalah bersifat positif, luas, dan fleksibel, meliputi seluruh aktivitas dan pranata sosial yang dapat mengenyahkan praktik kezhaliman, menegakkan keadilan, menghindarkan berbagai bentuk dan unsur yang membahayakan kehidupan sosial dan yang memicu aksi kerusuhan dan konflik horizontal maupun vertikal sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang adil makmur penuh semangat solidaritas dan kesetiakawanan sosial.

Ketentuan syariat dalam masalah ini sebagaimana dikenal dalam kitab-kitab siyasah syariah merupakan kesimpulan dari nilai-nilai berikut:

Pertama bahwa tanggung jawab pemerintah dalam Islam bersifat umum dan menyeluruh tanpa dibatasi apapun. Rasulullah saw bersabda: “Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya..” (HR Bukhari dan Muslim) Rasa tanggung jawab inilah yang menyebabkan Umar bin Khathab begitu peduli terhadap nasib rakyatnya termasuk binatang sekalipun, ia berkata, “Jika ada seorang anak kambing binasa di tepi sungai Furat, saya merasa bertanggung jawab di hadapan Allah pada hari kiamat.”

Kedua bahwa menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia merupakan salah satu misi utama risalah Islam, karena dengan keadilanlah langit dan bumi ditegakkan, dan untuk keadilan pula Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab suci-Nya. Firman-Nya: “ Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…” (QS. Al Hadid:25) “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. “ (QS. Ar Rahman: 7-9)

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Islam begitu memiliki perhatian khusus terhadap tegaknya keseimbangan, pola sinergi dan harmoni antara penguasa dan rakyat, antara majikan dan buruh, antara produsen dan konsumen, serta antara penjual dan pembeli, dengan cara mencegah dan melarang praktik saling merugikan, menzhalimi dan membahayakan sesama mereka. Allah memerintahkan ulil amri (penguasa) untuk melaksanakan dua bentuk kewajiban yang asasi, yaitu menunaikan amanah dan memutuskan perkara dengan adil. Firman Allah: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…..” (QS. An Nisa’:58) Oleh karena itu, setiap bentuk undang-undang dan peraturan yang dimaksudkan untuk menegakkan keadilan dan menghilangkan kezhaliman disambut baik oleh syariat.

Ketiga; kaidah syariat berusaha mencegah kemudaratan yang akan terjadi pada seseorang atau mencegah seseorang yang akan menimbulkan mudarat terhadap orang lain, bahkan berusaha menghilangkan kemudaratan yang telah terjadi. Prinsip ini tercermin dalam hadits Nabi saw: “tidak boleh ada mudarat dan tindakan saling membuat mudarat kepada orang lain” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Materi hadits ini kemudian dijadikan sebagai kaidah umum fiqih tentang maslahat. Di samping itu prinsip ini banyak dikuatkan oleh ayat-ayat al-Qur’an. Selanjutnya dari kaidah pokok ini para fuqaha menetapkan berbagai kaidah derifatifnya di antaranya: “Dharar (bahaya) itu harus dihilangkan”, “Dharar tidak boleh dihilangkan dengan memberi dharar yang lain.” “Resiko dharar yang bersifat khusus (yang menimpa lingkup yang sempit atau pribadi) dapat diambil demi menolak dharar yang lebih bersifat umum (lebih luas).”, “Resiko dharar yang kecil dapat diambil demi menolak dharar yang lebih besar”.

Bertolak dari paradigma ini, semua undang-undang dan peraturan atau tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya dharar ditolerir oleh Islam dan dianggap sebagai aturan yang didasarkan pada prinsip dan kaidah syariat. Oleh sebab itu, tidak seorang pun ulama fiqih yang menentang peraturan yang bersifat inovatif seperti peraturan lalu lintas guna mengatur kemudahan berlalu lintas bagi para pengendara demi kemaslahatan mereka dan kemaslahatan masyarakat, bahkan sekalipun dengan menjatuhkan denda dan hukuman bagi para pelanggarnya. Apabila kita menginginkan terhindarnya tabrakan mobil karena pertimbangan keselamatan seseorang, maka lebih utama lagi jika kita menginginkan agar tidak terjadi benturan antar masyarakat dengan pertimbangan keselamatan jamaah secara keseluruhan.

Keempat; berdasarkan kewenangan yang dilegitimasi oleh prinsip siyasah syar’iyah, pemerintah dapat melakukan segala kebijakan demi mewujudkan kemaslahatan yang relevan dengan membuat peraturan dan mengambil tindakan penyelamatan yang dipandang dapat memperbaiki kondisi tertentu, selama tidak bertentangan dengan nash yang tegas (qath’i) dan kaidah umum syariah. Dengan demikian segala sesuatu yang lebih mendekatkan kepada kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan, perlu dilakukan, bahkan kadang-kadang wajib, meskipun tidak terdapat nash yang khusus untuk itu. Oleh karena itu para sahabat dan Khulafa rasyidin melakukan berbagai macam tindakan yang mereka anggap baik dan maslahat meskipun hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah sebelumnya dan tidak ada nash tertentu yang menjelaskannya.

Imam Ibnu Aqil al-Hambaly pernah terlibat dialog dengan sebagian pengikut mazhab Syafi’i, sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Qayyim dalam At-Thuruq al-Hukmiyah (13-14) yang menunjukkan betapa luasnya cakrawala siyasah syar’iyyah dalam Islam dimana Ibnu Aqil menegaskan: “Yang dimaksud siyasah syar’iyyah ialah tindakan dan kebijakan pemerintah yang bila diterapkan di tengah-tengah masyarakat akan lebih mendekatkan kepada kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan, meskipun tindakan tersebut belum pernah dilakukan Rasulullah saw dan tidak ada pula wahyu yang secara khusus mengaturnya. Jika yang Anda maksud dengan ‘kecuali yang sesuai dengan ketentuan syara’ itu ialah tidak bertentangan dengan semua ketetapan syara’, maka itu benar. Tetapi jika yang Anda maksudkan ialah ‘tidak boleh melakukan siyasah syar’iyyah kecuali apa yang dikatakan secara eksplisit oleh syara’, maka perkataan Anda itu keliru dan dengan demikian menganggap salah tindakan para sahabat. Padahal Khulafa Rasyidin juga pernah melaksanakan hukuman mati dan hukuman berat lainnya terhadap pelaku suatu kejahatan sebagaimana diketahui orang-orang yang mengerti Sunnah. Dan kalaulah bukan karena kemaslahatan, tentunya Utsman bin Affan tidak membakar mushaf-mushaf yang lain sehingga menjadikannya satu mushaf saja; dan dengan alasan yang sama pula Khalifah Ali bin Abi Thalib membakar orang-orang zindiq dalam parit dan Umar pun pernah mengusir Nashr bin Hajjaj.”

Maka tidak relevan jika ada anggapan bahwa kebijakan pemerintah yang adil itu bertentangan dengan statemen eksplisit syariat, justru hal ini sesuai dengannya, bahkan merupakan bagian integral darinya. Dengan demikian syariat Islam sebenarnya telah memelopori dunia dengan mewajibkan pemerintah, pengusaha dan majikan untuk bersikap adil terhadap pekerja serta menunaikan semua hak-hak mereka. Ibnu Umar ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw, bersabda: “Berikanlah kepada buruh (pekerja) akan upahnya sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah, Tabrani dan Hakim). Ketentuan syariat yang tidak sempit ini memungkinkan umat manusia leluasa merancang berbagai peraturan, termasuk Upah Minimum Propinsi (UMP) yang adil. Hal ini tentu saja bertujuan supaya tidak ada pihak yang mengeruk keuntungan di atas penderitaan pihak lain, dan agar satu golongan tidak mengeksploitasi golongan lain demi mencari keuntungan, serta menutup peluang bagi lembaga LSM adventurer maupun pihak ketiga oportunis yang memanfaatkan situasi konflik kepentingan buruh-majikan dengan memprovokasi para buruh dan karyawan mengatasnamakan pembelaan hak dan kepentingan buruh yang identik golongan wong cilik ini.

Dalam situasi yang diperlukan, para fuqaha membolehkan pemerintah campur tangan masalah buruh dan karyawan dalam berbagai bentuknya. Pendapat ini di antaranya dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam risalahnya tentang al-hisbah. Beliau menjelaskan bahwa di antara sasaran intervensi pemerintah dalam wilayah publik adalah pencegahan terjadinya penganiayaan dan kezhaliman satu golongan terhadap golongan lain, dan mengharuskan semua masyarakat berlaku adil sebagaimana yang diperintahkan Allah swt. Karena dalam kehidupan sosial bersama mereka membutuhkan tenaga dan jasa orang lain. Maka dalam hal ini pemerintah dapat menentukan UMP yang layak bagi mereka yang rasional berdasarkan indeks harga konsumen lokal. Di samping itu dengan standar gaji dan upah yang ditetapkan, pemerintah dapat mencegah terjadinya aksi menuntut upah dan gaji yang lebih tinggi dari standar yang realistis.” Pengertian Upah minimum digunakan dalam berbagai cara di seluruh dunia untuk menunjukkan batas bawah upah yang dapat ditegakkan secara hukum melalui proses yang memerlukan kewenangan negara.

— bersambung

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (5 votes, average: 7.20 out of 5)
Loading...
Penulis adalah Alumnus terbaik Fakultas Syariah Madinah Islamic University, Arab Saudi. Saat ini aktif sebagai Anggota Dewan Syariah Nasional dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Syuro Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Dewan Penguji Ujian Sertifikasi Akuntansi Syariah, Ketua Tim Akuntansi Zakat, anggota Komite Akuntansi Syariah Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Dewan Penguji Ujian Sertifikasi Akuntansi Syariah, Anggota Tim Koordinasi Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara dalam Valas, Anggota Tetap Tim Ahli Syariah Emisi Sukuk (Obligasi Syariah), Dewan Pakar Ikatan Ahli Ekonomi Syariah (IAEI), Dewan Pakar Shariah Economic and Banking Institute (SEBI), Anggota Tim Kajian Tafsir Tematik Lajnah Pentashih Al-Qur�an Depag, Dosen Pasca Sarjana dan Pengasuh Tetap Fikih Aktual Jaringan Trijaya FM, Pegiat Ekonomi Syariah dan Referensi Fikih Kontemporer Indonesia. Penulis juga merupakan salah satu peneliti di Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI).

Lihat Juga

APPERTI: Kebijakan Menteri Nasir Harus Dibarengi Peningkatan Kesejahteraan Dosen Lokal

Figure
Organization