Topic
Home / Narasi Islam / Hidayah / Sang ‘Pengembara’ dan Pencinta Ka’bah

Sang ‘Pengembara’ dan Pencinta Ka’bah

Ka'bahdakwatuna.com – “Kami mendapati penjelasan dalam kitab kami bahwa ash- shiddiq (orang yang benar) tidak pernah meleset dari firasyatnya!” Dugaan pemuda Yahudi itu memang benar, Syaikh Ibrahim memang mengenalinya dengan tepat.

Pemuda tampan berpakaian sangat indah dengan aroma parfum di tubuhnya itu tidak bisa mengelak, tatapan mata Syaikh Ibrahim seakan menguliti jatidirinya. Lantas pemuda itu dengan penuh kesadaran mengakui identitasnya sebagai Yahudi yang menelusup di keramaian jamaah masjid. Padahal kedok penyamarannya nyaris sempurna, tampil layaknya kaum muslimin saat itu. Namun ketajaman mata hati Syaikh Ibrahim menyingkap tabir penyamarannya. Tanpa ragu, pemuda tadi mengakui sifat shiddiq Syaikh Ibrahim sekaligus menyatakan dirinya menjadi muslim.

Syaikh Ibrahim al-Khawwash hidup pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah di bawah pimpinan Khalifah Ar-Radhi Billah (322-329 H /934-940 M). Masa transisi kepemimpinan dari Bani Abbas ke Bani Buwaih. Periode sebelumnya di masa Al-Ma’mun, daulah Abbasiyah mengalami titik tertinggi pengaruh Yunani. Dimana kecenderungan rasionalistik khalifah dan para pendukungnya dari kelimpok Mu’tazilah yang meyatakan teks-teks keagamaan harus bersesuaian dengan nalar manusia, mendorongnya untuk mencari pembenaran bagi pendapatnya dalam karya-karya filsafat Yunani.

Sementara di tanah Eropa sendiri terjadi pertentangan sengit yang mengubur mati ajaran Helenisme itu. Munculah kelompok pendeta yang menyerukan agar umatnya kembali kepada cara hidup yang mereka sebut Monastik atau Monasticisme, karena mereka hidup di ‘monastry’ (kuil) jauh dari kota, jauh dari keramaian dan hiburan, jauh dari permusuhan dan pertentangan dan jauh dari kekuasaan dan materi. Bukan itu saja mereka meletakkan prinsip pertama dalam ajarannya adalah ‘astecisme’.

Ternyata kehidupan para pendeta ini lama kelamaan berjangkit juga di kalangan kaum muslimin. Kecenderungan menghindari konflik, keramaian dan hiburan, jauh dari permusuhan dan pertentangan dan jauh dari kekuasaan dan materi kemudian diterjemahkan dalam ajaran ‘uzlah. Pensikapan ini muncul sebagai bentuk keprihatinan kepada ‘Baghdad’ yang glamour sebagai sisi lain dari kekhilafahan ini. Dan trend itu tanpa disadari menelusup sedemikian rupa dalam kehidupan kaum muslimin. Inilah jaman dimana Syaikh Ibrahim hidup.

Beliau memang dikenal sebagai tokoh shufi, namun dalam al-Fatawa Ibnu Taimiyyah mengutip mereka sebagai ‘Shufi yang ahlussunnah’ (lihat Ushul al-Bida’ Inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah dalam edisi jurnal el-Ummah). Sayyid Ibrahim Al-Khawwash ra mendapat julukan Dzu al-Mawahib wa al-Ma’arif (yang mempunyai pemberian Illahi dan pengetahuan Illahi).

Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Ismail bin Ahmad bin Ismail al-Khawwas adalah tokoh shufi peringkat ketiga. Sangat masyhur di zamannya. Hidup sezaman dengan al-Junaid Al-Baghdady dan Syeikh al-Nuri. Petuah dan nasehatnya banyak digandrungi kaum muslimin sejagad. Salah satu nasihat beliau yang terkenal bahkan telah digubah menjadi syair dalam bahasa Jawa yaitu Tombo Ati. Syeikh Ibrahim Al-Khawwash terkenal juga karena sikap ketawakalannya yang tinggi. (lihat Ar-Risalah Al-Qusyairiyah, vol. I)

Sudah menjadi kebiasaan bagi Syaikh Ibrahim Al-Khawwash jika hendak bepergian, beliau tidak memmberitahu tujuannya kepada sesiapapun. Tiada seorangpun yang tahu ke mana, kapan berangkat dan kapan pulang. Termasuk ketika beliau pergi ke Makkah mengerjakan ibadah haji atau umrah, tidak pernah beliau memberitahu tetangganya dan orang-orang terdekat sekalipun. Mereka hanya mengetahui bahwa Syeikh Ibrahim Al-Khawwas akan bermusafir dengan tanda-tanda apabila beliau membawa rikwah (sejenis bejana air). Kemudian beliau pergi entah ke mana. Ini lebih disebabkan keinginan beliau yang tidak mau menyusahkan orang lain.

Hari telah petang, namun terik matahari masih terasa menyengat, mungkin juga hawa kerikil-kerikil gurun yang tidak kunjung sejuk oleh terpaan angin padang pasir yang menderu-deru. Seperti tak perduli dengan semua itu, kafilah silih berganti masuk ke gerbang kota Baghdad, ibukota khilafah, super power kekuatan dunia di abadnya yang namanya telah menggetarkan bangsa-bangsa di sekitarnya, Eropa.

Hari mulai bergerak malam, namun malam tidaklah malam di kota Baghdad. Lampu berawrna-warni dari gedung-gedung megah kaum aristokrat dan dari tempat-tempat hiburan, suara lagu padang pasir diiring tabuhan musik, gemerincik gelang emas di kaki biduan yang meliuk-liuk gemulai membuat Baghdad tidak bisa tidur. Banyak cerita beredar bahwa kemewahan dan hedonisme telah masuk istana Khalifah. Padahal warganegara kelas satu yang dalam tradisi Islam adalah figur sentral (qudwah) sosial dan politik.

Keprihatinan itu makin menjadi-jadi malah semakin mengguncang gosip imperium Abbasiyah. Sementara ada sebagian masyarakat yang mulai menjauhi kebisingan metropolitan Baghdad dengan mendekati Tuhan. Masyarakat yang gerah oleh panasnya dosa-dosa merasa seperti kuntum-kuntum mawar disiram embun pagi. Mereka berlari mencari mursyid yang mau menerima mereka sebagai ‘murid’. Ya murid, manusia yang memiliki keinginan Rabbani (iradat) untuk insan kamil. Di antara shufi, begitu mereka disebut dan menyebutkan diri demi membedakan dengan kalangan fuqaha yang sibuk mensyarah aqwal para imam.

Syeikh Ibrahim sedang beri‘tikâf di masjid, tiba-tiba masuk seorang lelaki bernama Hamid Al-Aswad yang datang mendekat. Selang beberapa saat kemudian Syeikh Ibrahim Al-Khawwas bangun mengambil rikwahnya kemudian keluar dari masjid sambil tangan yang sebelah lagi memegang tongkat.

Melihat gelagat tersebut, Hamid Al-Aswad yakin bahwa Syaikh Ibrahim pasti akan berpergian jauh, lalu tidak mau ketinggalan, dia pun bergegas menyiapkan diri dan terus membuntuti waliyullah itu.

Mereka berjalan dalam sepi. Bersama gerakan angin mengibas pasir gurun membentuk gelombang beraturan indah. Terik menyayat seperti tak peduli. Mereka berjalan menyusuri padang luas menembus lengkungan langit. Mereka terus berjalan hingga tiba di sebuah perkampungan bernama Qadisiyyah, Irak ( kira-kira pertengahan jalan antara Baghdad dan Makkah). Saat menoleh ke belakang barulah Syaikh Ibrahim sadar bahwa dirinya tengah dikuntit seseorang.

Tangan kasar dan berguratan dalam, membuka perlahan tutup kantung. “Minumlah, kau lebih membutuhkan ini,” katanya.

Hamid tak sempat berteriak suka cita, yang diingat hanya dahaganya sendiri. Diteguk langsung sisa satu tegukan. Tak sempat menghaturkan terima kasih karena sergapan bahagia.

“Hamid! Rupanya kau? Hendak ke mana?” Tanya Syaikh mengagetkan Hamid.

“Wahai syaikh, saya ingin ikut Anda,” Jawab Hamid tersipu malu.

“Ikut dengan saya?” Kata Syaikh Ibrahim keheranan.

“Ya! Kemana pun syaikh akan pergi?” Tanya Hamid minta kepastian.

“Insya Allah, saya akan ke Makkah,” Jawab Syaikh Ibrahim ringkas.

“Kalau begitu, saya juga ikut Syaikh ke Makkah.” Kata Hamid.

Mereka terus melangkah menendang pepasiran. Menaklukkan kelelahan di suatu gurun: gurun luas yang seolah-olah tak berbatas. Gurun luas yang beringas. Gurun luas yang kering-kerontang dan penuh dengan ular berbisa. Gurun, yang ketika disebut namanya, merinding dan diterbangkan oleh nuansa kegetiran akibat kengerian dan hawa memanas.

Setelah berjalan tiga hari tiga malam, sayup sayup di ujung mata, terlihat langkah gontai seorang pejalan. Baju compang camping didera terjangan badai. Mereka ditakdirkan Allah berjumpa dengan seorang pemuda yang tidak diketahui asal-usulnya. Tanpa diminta atau diajak, tiba-tiba pemuda itu ingin turut serta dan bergabung dengan keduanya. Sebagaimana halnya Syeikh Ibrahim atau Hamid, keduanya tidak punya alasan untuk menolak keinginan pemuda tersebut.

Selama dalam perjalanan, Hamid sangat kecewa dengan si pemuda itu, karena setelah sehari semalam bersamanya dia tidak melaksanakan shalat. Padahal Syeikh Ibrahim dan Hamid menghentikan perjalanan mereka setiap kali masuk waktu shalat untuk mengerjakan ibadah yang paling utama itu.

“Ya Syaikh, sepanjang perjalanan kita, saya lihat pemuda itu sekalipun tidak mengerjakan shalat,” lapor Hamid kepada Syaikh Ibrahim sambil berbisik.

Mendengar laporan itu Syaikh Ibrahim pun menghentikan perjalanan sejenak lalu memanggil dan menegur pemuda tersebut.

“Wahai anak muda! Gerangan apa yang menyebabkan engkau tidak mengerjakan shalat? Sedangkan shalat itu lebih wajib atas dirimu daripada ibadah haji.” kata Syaikh Ibrahim.

“Wahai tuan Syaikh, buat apa saya mengerjakan shalat?” Kata pemuda itu.

“Bukankah engkau seorang Muslim?” Bentak Syaikh Ibrahim.

“Bukan, saya bukan seorang muslim,” terang pemuda tadi.

“Jadi, agamamu apa?” Syaikh Ibrahim bertanya lagi.

“Saya beragama Nashrani.” Jawab si pemuda dengan jujur.

“Oh jadi engkau beragama Nashrani rupanya?” Kata Syaikh Ibrahim seakan tak percaya.

Terkejutlah Syaikh Ibrahim dan Hamid mendengar pengakuan si pemuda, karena sejak awal kedua orang ‘abid itu menganggap pemuda itu adalah saudara seagama mereka.

“Biarkanlah dia bersama kita,” kata Syaikh Ibrahim mententeramkan keadaan Hamid yang agak gelisah dengan kehadiran pemuda Nashrani itu.

Lalu mereka pun meneruskan perjalanan dengan tetap mengijinkan pemuda Nashrani itu bersama mereka walaupun dia berlainan agama. Setiap kali masuk waktu shalat, Syaikh Ibrahim dan Hamid menghentikan perjalanan untuk menunaikan shalat sebagaimana biasa, sementara pemuda Nasrani itu hanya duduk berlela-leha sambil menikmati pemandangan di sekitarnya.

Ah… ia tak percaya dengan pemandangan ini! Bintang serasa dekat, awan tak begitu pekat sehingga langit bersih terlihat! Pada perjalanannya ini tak terasa lagi lelah yang menari-nari. Hembusan napas panjang yang dibarengi hembusan angin yang mesra, sama-sama menghembuskan rasa suka: sebuah pencapaian tercapai dalam perjalanan yang membuat capai.

Tiba-tiba saja, pemuda Nasrani itu merasakan sesuatu yang tidak pernah dirasakan, ketenangan. Ia usap air matanya, mengebaskan debu dan tanah yang melekat dari wajah dan jubahnya.

Akhirnya mereka sampai di sebuah lembah untuk berehat dan mengambil air, maka Syaikh Ibrahim segera menanggalkan kainnya yang kotor untuk dibasuh. Sementara menunggu kain yang dijemur itu kering, Syaikh Ibrahim duduk sambil memerhatikan pemuda Nasrani itu.

“Wahai anak muda, siapa namamu?” Tanya Syaikh Ibrahim membuka pembicaraan.

“Aku bernama Abdul Masih”, jawabnya ringkas.

“Abdul Masih? Nama seperti ini dilarang sama sekali masuk ke Makkah. Allah Ta‘ala telah mengharamkan orang seperti kamu memasuki Masjidil Haram.” kata Syaikh Ibrahim.

“Tapi niatku satu, hanya untuk melihat Ka‘abah saja,” kata pemuda itu jujur.

“Walaupun niatmu jujur, tapi tetap tak boleh,sebab engkau bukan Muslim,” terang Syeikh Ibrahim.

“Apa buktinya?” Pemuda itu mencoba tahu.

Lalu dengan terus terang Syeikh Ibrahim membaca firman Allah Ta‘ala yang melarang orang orang musyrik dari mendekati Masjdil Haram:

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang kafir musyrik itu najis, oleh itu janganlah mereka menghampiri Masjidil Haram.” (At-Taubah: 28)

Pemuda Nasrani itu tertunduk diam mendengarkan bacaan tersebut, namun keinginan di hatinya untuk sampai ke Makkah sangat kuat. Hajatnya semata-mata ingin melihat Ka‘bah saja. Cuma dia belum mendapat hidayah dari Allah untuk masuk Islam.

Syaikh Ibrahim meneruskan tegurannya: “Demi Tuhan yang telah menggerakkan engkau mengakui keadaanmu yang sebenarnya, sekarang sudah jelas bagimu sebagaimana yang kamu telah dengar dari firman Allah Ta‘ala barusan. Oleh karena itu urungkannlah niatmu untuk memasuki Kota Makkah. Seandainya saya tahu persoalannya ini sedari awal, sudah barang tentu saya tidak akan megizinkan kamu mengikuti kami. Maka mulai sekarang dari tempat ini, kita berpisah dan dengan terpaksa saya tinggalkan kamu.”

Syaikh Ibrahim Al-Khawwas dan Hamid Al-Aswad pun terus menuju ke Makkah sambil meninggalkan pemuda Nasrani itu dalam keadaan termenung.

Pada perenungan yang dibuai dengan tatapan bintang dan gerak perlahan awan, sang pemuda merasakan penasaran ingin melihat baitullah. Dan tiba-tiba saja, keinginan kuatnya menghadirkan ketenangan dalam jiwanya! Perasaan itu hadir menggeletar dalam kedahsyatan yang membuat tubuhnya bergetar-getar. Dan, tanpa dapat dihitung dalam jejak waktu yang konstan, tiba-tiba saja sang pemuda mutar otak untuk bisa masuk kota Makkah. Tiba-tiba saja ia tak merasa lapar, lelah atau bosan. Ia tergenang dalam kerinduan berjumpa Ka’bah.

Setelah sampai di Makkah Syaikh Ibrahim dan Hamid dapat mengerjakan umrah dengan sempurna. Ketika keduanya sedang wuquf di Arafah, dengan tidak disangka-sangka pemuda Nasrani yang ditinggalkan itu muncul dengan memakai pakaian ihram dan wajahnya kelihatan berseri-seri. Dia terus meuju ke arah Syaikh Ibrahim kemudian mencium kepalanya.

“Engkaukah wahai Abdul Masih? Bagaimana engkau dapat datang kemari?” Tanya Ibrahim Al-Hawwas dengan terkejut.

“Tuan Syaikh, tolong jangan sebut nama itu lagi,” pinta pemuda itu.

“Mengapa? Apa yang terjadi?” Tanya Syaikh Ibrahim.

“Saya sekarang adalah Abdun (seorang hamba). Dan sesungguhnya Al-Masih (Nabi Isa) itu adalah hambaNya juga.” Ujar pemuda itu sambil menangis.

Dengan jawaban itu, pahamlah Syaikh Ibrahim bahwa pemuda itu sekarang telah meninggalkan agama lamanya dan menjadi seorang Muslim. Dia bersyukur kepada Allah yang telah membukakan hati hambaNya untuk kembali ke agama yang diridaiNya itu.

“Coba kamu ceritakan tentang keislamanmu itu,” kata Syaikh Ibrahim ingin tahu.

Pemuda itu pun kemudian bercerita: “Saat Syeikh pergi meninggalkan saya, tinggallah saya duduk termenung seorang diri di lembah itu sampai datang satu kafilah haji. Saya bertemu mereka persis seperti saya berjumpa dengan Syaikh tempo hari dan mereka menerima saya.

Dengan menyamar saya ikut mereka, berpakaian seolah-olah seperti orang sedang berihram. Sehingga dengan begitu saya berhasil memasuki Makkah. Ternyata niat dan hajat saya untuk melihat Ka’bah tercapai. Namur tiba-tiba perasaan aneh kembali saya rasakan. Kebesaran Allah swt tidak dapat saya gambarkan di sini, saya melihat semua agama di dunia ini lenyap dalam pandangan mata saya, kecuali Islam. Oleh karena itulah saya berpikir memang sudah saatnyalah saya diberi hidayah oleh Allah swt. dengan bersaksikan rumah Allah ini, saya pun mengucap dua kalimah syahadat lalu aku mandi dan mengerjakan ihram. Kemudian saya pergi mencari tuan Syaikh dan akhirnya saya berjumpa di sini.”

“Wahai Hamid, coba engkau lihat betapa besar hikmah niat dan kejujuran seseorang, sehingga menyebabkan seorang Nasrani mendapatkan hidayah dan masuk Islam.” kata Syaikh Ibrahim.

Sejak saat itu pemuda tersebut terus menerus bertemankan Syeikh Ibrahim Al-Khawwas dan Hamid Al-Aswad beserta seluruh kaum muslimin kemudian bermunajat dan mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu wata‘ala.

Mereka menjelajah, mengarungi panas-kering kala siang dan gelap-kelam kala malam. Panas yang mereka rasakan berselimutkan harapan akan pencapaian tanah tujuan. Malam yang mereka cumbu dalam bosan mengekalkan di benak mereka: impian akan negeri penuh berkah yang di dalamnya berlimpah-limpah susu dan madu. Tentulah itu negeri indah dengan warna membiru tanpa jeritan pilu!

Di pengembaraan penuh duka nan mengerikan inilah, seorang waliullah hidup dan menghidupkan. Ia setia dan dekat pada Sang Pencipta. Ia penyabar dan tak lekas gusar. Ia adalah seorang guru dalam kematangan usianya. Ia bertongkat dan berjanggut panjang. Pembimbing ini telah lama memimpin umatnya yang tengah dilanda kemajuan materi dan pemujaan intelektual yang luar biasa. Pengembaraannya terngiang dalam jejak panjang yang seolah tanpa akhir.

Segala puji bagi Allah yang telah memperlihatkan keunggulan Islam di hadapan agama-agama yang lain. Sesungguhnya Allah Subhanahu wata‘ala telah menunjukkan bahwa agama yang benar dan diridhai di sisi-Nya adalah Islam. Semoga pegangan dan aqidah kita kekal hingga akhir hayat. Wallahu ‘alam.

Disarikan dari kitab Raudhur Rayyahin fi hikayatis-Shalihin

Redaktur: Samin Barkah, Lc. M.E

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (42 votes, average: 8.90 out of 5)
Loading...
"Aidil" adalah panggilan kesehariannya. Lahir di Jakarta pada tahun 1964 dan sekarang telah dikaruniai Allah 4 orang anak. Manajer SDM di Ummigroup Media ini adalah lulusan dari SMA Negeri 8 Jakarta, LIPIA (I'dadul Lughoh Masa'iyah), dan Institut Agama Islam Al-Aqidah. Pernah aktif di Kerohanian Islam (Rohis) SMAN 8 Jakarta, dan di Bi'tsatud Du'at PKPU. Saat ini mengemban amanah sebagai Pembina Yayasan Sahabat Insani. Moto hidupnya adalah "Hidup Mulia atau Mati Mulia".

Lihat Juga

Minggu 28 Mei, Matahari Melintas Tepat di Atas Ka’bah

Figure
Organization