Topic

Saatnya Memberi

dakwatuna.com – “Adalah Rasulullah saw. lebih pemurah dari semua orang. Terlebih di bulan Ramadhan, di mana Jibril sering mengunjungi beliau untuk tadarus Quran. Saat itu, Rasulullah saw. teramat sangat pemurah, melebihi angin yang terlepas.” (Bukhari Muslim, kesaksian Ibnu Abbas r.a.)

Memberi tidak selalu menunggu permintaan

Biasanya, sebuah pemberian muncul setelah adanya ungkapan permintaan. Inilah kadar pemberian yang umum. Sebuah pemberian yang biasa terjadi di masyarakat kebanyakan.

Namun, akan beda nilainya jika pemberian justru lahir sama sekali tidak dari permintaan. Ia muncul sebagai perwujudan cinta yang digiring melalui kepekaan tinggi. Pemberian model ini, mungkin tergolong jarang. Tanpa diminta, pemberian sudah mendahului. Bahkan, sama sekali tak pernah terpikir oleh si peminta.

Itulah yang pernah terjadi di generasi para sahabat Rasul. Seorang sahabat Anshar pernah menawarkan separuh hartanya kepada Abdurrahman bin Auf. Bahkan, ia siap menceraikan salah seorang isterinya untuk kelak dinikahkan kepada Abdurrahman bin Auf.

Sepertinya si sahabat Anshar menangkap sesuatu yang kurang dari sahabatnya yang ‘terusir’ dari Madinah itu. Kasihan Abdurrahman, ia meninggalkan segala-galanya di Mekah demi menunaikan perintah Rasul untuk berhijrah. Begitulah mungkin yang sempat terpikir sahabat Anshar. Tanpa menunggu diminta, ia langsung menawarkan. Sayangnya, penawarannya yang tulus ditolak Abdurrahman. Sahabat Muhajirin ini tidak mau merepotkan tuan rumah. Ia cuma menanyakan letak pasar, agar bisa berdagang.

Dalam akhlak Islam, ada yang namanya ‘iffah: tidak meminta-minta walaupun butuh, demi menjaga kehormatan. Akhlak ini begitu mulia. Sayangnya, tidak banyak yang menyambutnya dengan sifat bersegera memberi, walaupun tidak meminta. Sifat ‘iffah tentu punya niat ikhlas mengharap balasan dari Allah. Alangkah indahnya ‘iffah jika disambut dengan itsar, memberi dengan nilai tertinggi. Seperti yang dicontohkan sahabat Anshar dan Abdurrahman bin Auf.

Pemberian terbalas dengan pemberian yang lebih berharga

Dalam keseharian, kerap Allah membuktikan janjiNya dengan cara sederhana. Sebuah pemberian yang tulus, akan terbalas dengan pemberian yang lebih bernilai. Bahkan berlipat kali.

Ketika kendaraan yang kita setir berpapasan dengan kendaraan lain, keikhlasan membimbing kita untuk memberi jalan. “Silakan!” ucapan itu spontan keluar melalui sebuah isyarat. Hinakah kita karena mempersilakan orang lain jalan lebih dulu? Justru, sebaliknya. Pengendara lain serta-merta mengangkat tangan, tanda penghormatan yang juga spontan.

Juga, hinakah kita ketika terlebih dulu memberi salam kepada saudara kita. Justru, yang kita dapatkan lebih baik dari yang kita beri. Bukan sekadar jawaban salam yang menyambut, senyum dan lambaian tangan pun melengkapi.

Begitu pun nilai sebuah pemberian di sisi Allah swt. Infak yang keluar dari kantong seorang mukmin, diumpamakan seperti benih. Dari benih itu menjadi pohon kebaikan yang tumbuh besar dan akhirnya berbuah.

Maha Benar Allah swt. dalam firman-Nya di surah Al-Baqarah ayat 261, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Tanpa meminta pun, manusia selalu meminta

Kehidupan manusia tak pernah luput dari yang namanya meminta. Sadar atau tidak, kita membutuhkan orang lain untuk memberi sesuatu yang kita butuhkan. Begitulah kehidupan bergulir.

Sejak lahir, seorang anak manusia meminta banyak dari ibunya. Mulai dari makanan, minuman, perlindungan, dan belaian kasih sayang. Ungkapan memintanya pun tidak mengenakkan: menangis. Itulah bahasa meminta pertama manusia.

Mungkin, inilah tabiat dasar manusia: selalu meminta. Mulai lahir, masa anak-anak, dewasa, dan akhirnya tua. Lagi-lagi, manusia meminta. Bahkan di akhir hayat pun tangis mengungkapkan bahasa asalnya ketika lahir: meminta. Manusia menangis karena merasa tidak mampu mengurus dirinya sendiri, menjaga isteri, dan membiayai anak-anak. Ia menangis sebagai ungkapan meminta ke orang lain.

Kalau suasana alami saja manusia sudah sering meminta, kenapa harus dibiasakan untuk meminta secara sengaja. Meminta dan meminta.

Kikir tak pernah menguntungkan

Logika sederhana kerap mengatakan, semakin kecil pengeluaran akan memperbesar pemasukan. Kian jarang memberi, simpanan semakin mapan. Itulah mungkin bimbingan nalar yang menjadikan orang enggan memberi.

Benarkah seperti itu? Dari hitungan materi, mungkin nalar itu benar. Tapi, bukankah kehidupan tidak melulu materi. Bukankah kebahagian, kesedihan, dan kekecewaan kadang tidak berhubungan dengan materi. Ada bagian lain dalam diri manusia yang tidak bisa disentuh materi. Itulah kepuasan hati. Tak satu harga pun yang bisa membeli kepuasan hati. Jutaan, bahkan milyaran rupiah terbuang percuma karena kepuasan hati tak kunjung datang.

Bersyukurlah mereka yang Allah cabut dalam hatinya rasa kikir. Setiap kali ia memberi, saat itu juga ada kepuasan terlahir. Puas dan bahagia bisa meringankan beban orang lain. Puas menatap senyum orang-orang yang membutuhkan.

Allah swt. berfirman, “…Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (11 votes, average: 6.64 out of 5)
Loading...

Tentang

Pria yang kerap dipanggil "Nuh" ini berlatar pendidikan dari Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Gunadarma. Lahir di Jakarta dan saat ini produktif sebagai seorang penulis Dirosah, Nasihat, dan Ruang Keluarga di Majalah SAKSI. Moto hidupnya adalah "Hidup Mulia, Mati Syahid".

Lihat Juga

PKPU Berbagi Air di Desa Hurip Jaya

Figure
Organization