Topic
Home / Narasi Islam / Hidayah / Pichichi Ingin Jadi Muslim Sejati

Pichichi Ingin Jadi Muslim Sejati

dakwatuna.com – “Jamaah di Ponce de Leon ini sangat beragam. Jika tidak ada Kanoute, maka kami tidak lagi mempunyai masjid, khususnya untuk shalat Jumat yang merupakan hari libur bagi kami kaum Muslimin,” Ungkapan kegembiraan ini seperti menghapus kecemasan yang selama ini menghantui kaum muslimin di Sevilla Spanyol Selatan.

Sebelumnya mereka didera kekhawatiran tidak akan mempunyai tempat lagi untuk beribadah. Pasalnya bangunan yang mereka kontrak dan disulap menjadi sebuah masjid, kontrak dan izinnya akan segera habis dan pemilik bangunan berniat menjual propertinya. Padahal masjid ini menjadi tumpuan utama kaum muslimin di Sevilla.

Frederic Kanoute sempat mendengar masalah ini dan memutuskan membeli bangunan tersebut. Jika tidak karena kemurahan hati dan uluran tangan striker club Sevilla berusia 30 tahun itu, boleh jadi kaum muslimin warga Sevilla akan kehilangan masjid dan kesulitan melakukan ibadah shalat Jumat.

Kanoute merogoh koceknya sebesar 510.860 euro atau setara dengan 700 ribu dolar AS (sekitar Rp 6,3 miliar) untuk menyelamatkan masjid di Sevilla itu agar tidak ditutup. Karena ia juga tidak ingin melihat saudara muslimnya yang sebagian besar migran dari Afrika Utara dan Afrika Barat tak lagi memiliki sebuah masjid di sebuah kota Eropa. Sementara pernyataan yang dikeluarkan klubnya hanya mengatakan bangunan itu memang telah ditawarkan, terletak di wilayah yang strategis, dan pembelian itu merupakan sebuah bentuk investasi yang normal. Pihak Balai Kota Sevilla mengonfirmasikan bangunan itu kini telah terdaftar dengan nama Kanoute.

Hal itu menarik perhatian banyak pihak sekaligus sangat melegakan bagi komunitas muslim tak hanya di Sevilla, tetapi juga seluruh Spanyol. Sebuah masjid kembali berdiri setelah sekian abad lenyap dari kota Isybiliyah nama sebenarnya dari Sevilla. Kota terbesar dari provinsi Andalusia, Spanyol, menjadi tempat di mana seluruh stereotype dan ciri khas Spanyol melekat. Matador dengan adu bantengnya, tarian flamenco, festival-festival yang dirayakan seluruh penduduk kota, produsen utama dari olive oil hingga sherry (wine spanyol).

Namanya mendadak melejit dalam percaturan bola di negeri matador ini. Frederic Kanoute, penyerang Sevilla, melesakkan empat gol dalam tiga pertandingan Liga Spanyol plus satu gol saat mengempaskan Barcelona 3-0 pada Piala Super Eropa. Dia berhak atas gelar pichichi (top scorer) Liga Spanyol bersama Samuel Eto’o dari Barcelona.

Suporter Sevilla menemukan idola baru dalam diri Kanoute sepeninggal Javier Saviola yang telah kembali ke Barcelona. Musim lalu Kanoute kalah pamor dibanding Saviola dan hanya mencetak enam gol sepanjang musim. Tapi si pemain justru menolak diidolakan secara berlebihan.

Fredi–panggilan akrabnya–lahir di Sainte-Foy-les-Lyon, kawasan metropolitan di pinggiran Lyon, kota terbesar kedua di Prancis setelah Paris. Ayahnya adalah warga negara Mali yang lantas menetap di Paris saat berusia 21 tahun dan menjadi pekerja pabrik. Sang ayah menikah dengan perempuan Prancis, seorang profesor filsafat–ibu Kanoute.

“Keluarga kami bukan keluarga miskin, tapi juga tidak terlalu kaya,” kata Kanoute. Pendidikan menjadi hal penting di keluarga mereka. Saudara laki-laki Fredi seorang doktor, saudara perempuannya guru sekolah perawat. Dia sendiri selalu diharapkan ayah-ibunya untuk masuk universitas.

“Tapi ayah, ibu, dan saudara-saudara saya tak keberatan saat saya memutuskan untuk berkarier sebagai pemain bola. Meski tentu saja mereka lebih suka bila saya meneruskan kuliah,” ceritanya sambil tertawa.

Terbiasa dengan pola pikir filosofis yang diterapkan ibunya, Kanoute tumbuh menjadi pemuda yang selalu haus mencari jati diri. Di sela-sela latihan dan pertandingannya sebagai pemain muda Olympique Lyon, Kanoute mencoba merenungkan arti hidup.

“Saat itu saya sudah berpikir, pasti ada yang lebih bermakna daripada sekadar sepak bola,” kenangnya. “Bukan berarti saya menganggap remeh sepak bola, bukan, sampai sekarang pun saya menganggap sepak bola penting bagi hidup saya.”

Dari situlah dia menemukan Islam. Kanoute muda mengenal Islam dari lingkungannya yang banyak dihuni para imigran dari Afrika bekas jajahan Prancis. Karena tertarik, dia lantas mencari buku-buku rujukan.

Tepat pada tahun pertama memulai karier profesional bersama Lyon, musim 1997/1998, saat usianya 20 tahun, dia mengucapkan kalimat syahadat. Namanya lantas berganti menjadi Frederic Oumar Kanoute. Dia kemudian menikahi perempuan keturunan Mali, Fatima. Mereka telah dikaruniai dua putra: Ibrahim, 5 tahun, dan Iman, 3 tahun 6 bulan.

”Saya sudah menghabiskan banyak waktu, merenung mengenai kepercayaan dan agama. Islam mampu membuktikan dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan sulit yang selalu membuat saya penasaran soal hidup,” kata Kanoute dengan yakin atas keputusannya.

‘Keputusan saya bukan tanpa alasan. Saya sudah menghabiskan banyak waktu merenung mengenai kepercayaan dan agama. Islam mampu membuktikan dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan sulit yang selalu membuat saya penasaran soal hidup. Saya membaca dan terus membaca, sehingga akhirnya yakin telah melakukan sesuatu yang benar,” tutur Fredi, sapaan akrab Kanoute.

Sebelum memeluk Islam, Kanoute menjalani kehidupan sehari-hari layaknya pemain sepak bola; berlatih, bertanding, hura-hura, dan bermimpi suatu saat menjadi pemain bintang. Profesi sebagai pemain bola profesional saat ini, sungguh menjanjikan kehidupan serba wah. Penggemar di mana-mana, termasuk wanita-wanita cantik yang selalu mengelilingi atau mengejar mereka. Bayaran yang tinggi dan terkadang selangit, membuat pemain sepakbola menjadi bagian dari high class. Gaya hidup pun bisa berubah total. Ornamen-ornamen yang menjadi simbul kelas mereka, sering menjadi perhiasan para pemain sepakbola. Banyak uang, ditambah gaya hidupnya liar dan jelas nggak punya keimanan, membuat mereka jadi hedonis.

Ketika budaya selebritis merasuki para pemain sepakbola, gaya hidup pun berubah. Awalnya karena kontrak gila-gilaan yang mendatangkan uang berlimpah. Kemudian menjadi idola yang dipuja-puji dan selalu menghiasai halaman surat kabar. Lambat laun terseret pula ke dalam kehidupan gemerlap.

Berangkat dari orang biasa kemudian berselimut kemegahan sampai gaya hidup yang membuat mereka kehilangan kontrol. Mengakrabi dunia pesta, tinggal di sebuah rumah mewah di dekat pantai. Bergaul dengan kaum jet set. Minuman dan narkoba mulai menjadi bagian dari gaya hidup. Diperlakukan bak dewa, bebas melakukan apa saja. Terbius gaya hidup pesta pora, mabuk minuman keras atau fly karena pengaruh kokain. Sampai pada akhirnya hidup pun terancam. Pengaruh minuman keras dan narkoba telah menggerogoti tubuh hingga sulit meninggalkan diri dari ketergantungan alkohol dan narkoba.

Mereka punya permainan luar biasa yang membuat dunia terpesona. Tapi, mereka sendiri yang mengakhiri kisah indah itu dengan gaya hidup yang konsumtif terhadap minuman keras dan narkoba. Zat-zat setan itu tak hanya menghancurkan karier dan kehidupan mereka, tapi juga mencoreng nama baik mereka. Olahraga yang semestinya dekat dengan pola hidup sehat malah menghancurkan kehidupan. Tragis memang!!!

Namun tidak begitu dengan tokoh kita ini, meski amat mencintai sepak bola, Kanoute tetap meyakini ada sesuatu yang lebih penting dalam hidupnya. ”Saya pikir ada sesuatu yang lebih besar dibanding sepak bola. Tapi bukan berarti sepak bola tak penting. Yang jelas saya mendapat pencerahan saat menjadi Muslim. Aturan dan hukum Islam menjadi model terbaik saya dalam menjalani hidup. Islam membantu saya menjalani hidup yang benar,” tegas Kanoute, yang pernah menjadi striker andalan di klub Liga Primer Inggris, Tottenham Hotspur. Bukan tanpa halangan ketika Kanoute memutuskan memeluk Islam.

Apalagi di saat media-media Barat selalu memberitakan fanatisme Islam sangat berbahaya dan memicu aksi terorisme. ”Situasinya memang sangat sulit,” ungkap Kanoute.

”Saya selalu menjawab bahwa mereka yang terlalu fanatik dan berbuat teror hanyalah segelintir umat Islam di dunia. Bukan berarti publik Barat bisa menghakimi seluruh umat Islam. Islam selalu mengajarkan pemeluknya untuk hidup dengan benar dalam perdamaian.”

Tak sekadar mengeluarkan bantahan, Kanoute menerapkan perilaku Islami saat bertemu publik, baik di ruang pers maupun saat latihan di tempat latihan Spurs di Chigwell. Pemain yang murah senyum dan berbicara hati-hati ini tak mengikuti gaya para pesepak bola Inggris yang gemar mengenakan anting berlian, mengecat rambut, dan mengendarai mobil mewah.

Frederic Kanoute, terpilih sebagai pemain kelahiran Eropa pertama yang dinobatkan sebagai pemain terbaik Afrika tahun 2007. Kanoute juga menjadi pemain Mali pertama yang menjadi pemain terbaik Afrika setelah Salif Keita pada tahun 1970.

Penghargaan itu diumumkan Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAS) di Lome, Togo, Jumat malam, melalui penetapan berdasarkan voting 57 pelatih tim nassional(timnas) anggota CAS. Kanaoute mengalahkan dua kandidat lain, yakni gelandang dan striker Chelsea, Michael Essien (Ghana) dan Didier Drogba (Pantai Gading).

Sebelumnya striker berusia 30 tahun itu masuk nominasi sebagai pemain terbaik atas perannya meloloskan Mali ke putaran final Piala Afrika 2008. Dia juga membantu Sevilla juara Piala UEFA dan Piala Raja tahun lalu.

Kanoute pernah bermain untuk timnas Perancis, negeri tanah kelahirannya, pada level junior. Pada 2004 ia berganti kewarganegaraan sebagai warga negara Mali, negara asal ayahnya.

Ironisnya terpilihnya Kanoute sebagai Pemain Terbaik Afrika 2007 terjadi dalam waktu tiga hari setelah tim Mali tersingkir dari ajang Piala Afrika 2008. Kanoute sendiri cedera saat Mali dipukul Pantai Gading 0-3 pada laga terakhir penyisihan grup.

Penghargaan lainnya diberikan CAS pada tim Pantai Gading sebagai timnas terbaik dan klub pemenang Liga Champions Afrika Etoile Sahel (Tunisia) sebagai klub terbaik. Sementara Clifford Mulenga dari Zambia terpilih sebagai pemain muda terbaik.

Tak mudah baginya untuk menjalani kehidupan sebagai pesepak bola profesional yang tersohor sekaligus menjalankan ibadah. Tapi, keputusannya untuk menjadi religius membuatnya semakin memiliki karakter yang kuat.

Setelah bermain untuk Lyon, 1997-2000, Kanoute merumput untuk West Ham di Liga Inggris (2000-2003) dan kemudian Tottenham Hotspur (2003-2005). Setelah itu Sevilla menjadi persinggahannya sejak dua musim lalu.

Di mana pun dia berada, pemain bertinggi badan 192 sentimeter ini selalu tegas menyatakan bahwa dia seorang muslim. Dia shalat lima waktu, tidak minum alkohol, dan menjauhi kehidupan malam. Saat Pangeran Charles mengunjungi Masjid Whitechapel, London Timur, pada 2003, dia menjadi salah satu orang yang menyambutnya.

Yang paling sulit bagi seorang pemain profesional seperti dia adalah beradaptasi dengan lingkungan dan kompetisi setempat, terutama bila bulan Ramadan tiba. Sebagai seorang muslim, dia harus melaksanakan puasa wajib. Sebagai pemain profesional, dia dituntut untuk selalu turun dalam kondisi fisik terbaik.

“Sebagai seorang Muslim, saya merasa kurang lengkap bila tidak menjalani puasa Ramadhan. Walaupun ada konsekuensi profesionalisme,” kata striker kelahiran Lyon ini. Setiap tahun dia selalu berharap dapat menjalankan ibadah puasa. Ternyata, bila keimanan telah terpatri, pilihan terbaik pun akan diberikan Yang Maha Kuasa.

Empat hari menjelang Ramadan tahun ini, pelatih Sevilla, Juande Ramos, bertanya tentang pola makannya saat puasa. Ramos khawatir si penyerang andalnya akan kehilangan ketajamannya bila kondisi fisiknya menurun saat puasa.

Mengenai puasa, Kanoute termasuk pemain yang menolak anggapan bahwa puasa akan menurunkan penampilannya. “Siapa pun yang mengerti dan memahami Islam memahami bahwa puasa justru menambah kekuatan dan tidak memperlemah,” tegasnya. Dia pun telah membuktikan kebenaran pendapatnya. Pada musim kompetisi tahun lalu, misalnya, ia mampu menjebloskan 20 gol ke gawang lawan. Harian cetak ABC menuliskan, produktivitasnya ini meyakinkan pemilik klub untuk tidak menekannya agar jangan berpuasa ketika pertandingan digelar.

“Pemain Sepakbola beragama Islam di Eropa dipercaya adalah sebuah bukti bahwa kepercayaan dan kebudayaan mereka bukanlah halangan untuk berkontribusi di dalam masyarakat,” kata Anas Al-Tikriti, mantan Ketua Asosiasi Muslim Inggris pada Online.net.

“Mereka dapat menjernihkan miskonsepsi tentang Islam dan membuktikan bahwa menjadi Muslim adalah “way of Life,” dia menambahkan.

Kanoute telah mengalami perjalanan panjang sebelum menemukan keteguhan iman Islam seperti sekarang. Perenungan dalam yang membuatnya bisa berucap tegas, “Islam telah menuntun saya ke jalan yang benar, dan Nabi Muhammad panutan saya.” Setiap menyebut nama Nabi Muhammad, dia selalu menambah dengan kalimat, “Shalallahu ‘alaihi wasallam.”

Ada beberapa pemain sepakbola international yang ternyata beragama Islam, dan ini dipercaya mampu menunjukkan wajah Islam yang lain yang selama ini tidak pernah kelihatan. Itulah Kanoute. Di tengah kilatan blitz yang memburu, mendapat hujan pujaan, sukses di lapangan hijau, Kanoute tetap dikenal sebagai sosok yang rendah hati dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Di kampung halamannya, ia mempunyai yayasan yang menyantuni anak yatim. Kini, sebuah masjid pun berdiri dengan torehan namanya. Dari berbagai sumber

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (71 votes, average: 9.39 out of 5)
Loading...
"Aidil" adalah panggilan kesehariannya. Lahir di Jakarta pada tahun 1964 dan sekarang telah dikaruniai Allah 4 orang anak. Manajer SDM di Ummigroup Media ini adalah lulusan dari SMA Negeri 8 Jakarta, LIPIA (I'dadul Lughoh Masa'iyah), dan Institut Agama Islam Al-Aqidah. Pernah aktif di Kerohanian Islam (Rohis) SMAN 8 Jakarta, dan di Bi'tsatud Du'at PKPU. Saat ini mengemban amanah sebagai Pembina Yayasan Sahabat Insani. Moto hidupnya adalah "Hidup Mulia atau Mati Mulia".

Lihat Juga

Spanyol Batalkan Penjualan 400 Bom ke Arab Saudi

Figure
Organization