Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Aqidah / Tawakkal Dengan Sebenarnya (Bag. 2)

Tawakkal Dengan Sebenarnya (Bag. 2)

dakwatuna.com – Tawakkal seperti yang diperintahkan oleh Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw tidak berarti menafikan atau menghilangkan usaha dan sebab-akibat. Abul Qasim Al-Qusyairi dalam risalahnya mengatakan: “Ketahuilah bahwa tawakkal tempatnya adalah hati, sementara gerakan anggota badan (usaha) tidaklah menafikan tawakkal itu sendiri…”

Al-Quran memerintahkan kita berusaha dan memperhatikan sebab akibat

Dalam konteks jihad fi sabilillah, Al-Quran memerintahkan kita untuk selalu waspada dan melakukan persiapan matang:

“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!” (An-Nisa (4): 71)

Dalam konteks rizki, Al-Quran menyuruh kita berusaha mencari kaunia-Nya:

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumu’ah (62): 9-10).

Dalam hal melaksanakan haji, AL-Quran menyuruh orang-orang yang akan melaksanakannya untuk berbekal:

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah (2): 197).

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ أُنَاسًا مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ كَانُوا يَحُجُّونَ وَلاَ يَتَزَوَّدُونَ وَيَقُوْلُونَ: نَحْنُ الْمُتَوَكِّلُونَ! فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى: ((وَتَزَوَّدُوا …)) الآية. (رواه البخاري وأبو داود والنسائي وابن حبان).

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa ada sekelompok orang dari Yaman yang berangkat haji tanpa berbekal lalu mereka berkata: “Kami bertawakkal !” Ketika sampai di Mekkah mereka meminta-minta kepada orang lain, maka turunlah ayat ini : “Berbekallah kamu…” (2/197). (HR. Bukhari, Abu Dawud, Nasai & Ibnu Hibban).

Sunnah Rasulullah saw memerintahkan kita memperhatikan usaha dan sebab akibat

عَنْ أنَس بْن مَالِكٍ يَقُولُ: قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ ((اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ)) (رواه الترمذي وحسنه الألباني)

Dari Anas bin Malik ra berkata: Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw: “Apakah aku ikat untaku dan bertawakkal atau aku biarkan dan bertawakkal?” Rasulullah saw bersabda: “Ikatlah dan tawakkallah !” (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani).

((لَوْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصاً، وَتَرُوحُ بِطَاناً)) (رواه الترمذي عن عمر بن الخطاب)

Jika kalian bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang benar pasti Dia member rizki kepada kalian seperti ia memberi rizki kepada burung yang terbang di pagi hari dalam keadaan keadaan perut yang kosong dan pulang sore hari dengan tembolok penuh. (HR Tirmidzi dari Umar bin Khottob)

« إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ ». (رواه أحمد)

Bila datang kiamat sementara di tangan salah seorang diantara kamu ada anak pohon kurma, jika ia mampu menanam sebelum terjadi kiamat maka lakukanlah. (HR. Ahmad, diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).

Bagi para peneliti sirah Rasulullah saw, amat jelas terlihat bahwa beliau adalah orang yang sangat memperhatikan usaha, dan persiapan matang terutama dalam ghazawat dan saraya beliau. Rasulullah saw memperhitungkan betul ihthiyath lazimah (persiapan dan antisipasi kebutuhan) bagi keselamatan pasukannya, mengirimkan mata-mata untuk mengetahui keadaan musuh dan kelemahan mereka.

Di antara hal yang mengagumkan adalah penggunaan istilah al-ihsha (penghitungan teliti, sensus) dalam hadits Rasulullah, yakni ketika beliau memerintahkan para sahabat untuk menulis siapa saja yang telah masuk Islam:

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « أَحْصُوا لِى كَمْ يَلْفِظُ الإِسْلاَمَ » (رواه مسلم)

Dari Hudzaifah ra berkata: Suatu ketika kami bersama Rasulullah saw lalu beliau bersabda: “Hitunglah untukku berapa yang melafalkan Islam.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat Bukhari beliau menyebutkan lafal اُكْتُبُوا (uktubuu/tulislah). Tampak dari hadits ini bahwa Rasulullah saw amat memperhatikan data sebagai salah satu faktor terpenting keberhasilan perjuangan. Data jumlah kaum muslimin terutama data mujahidin digunakan oleh Rasulullah saw untuk mengetahui berapa kekuatan SDM ummat Islam guna menghadapi kekuatan musuh yang selalu mengintai.

Perhatikan bagaimana Rasulullah saw saat hijrah ke Madinah, beliau membuat perencanaan yang matang dengan urutan dan logika berpikir sempurna. Rasulullah menyiapkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidurnya, mengajak Abu Bakar sebagai pendamping perjalanan, menentukan penunjuk jalan (Abdullah bin Uraiqith), menuju gua Tsaur yang arahnya berbeda dengan Madinah, bermalam di sana, menyiapkan pengantar bekal makanan ( Asma binti Abi Bakr), menentukan orang yang menghapus jejaknya (‘Amir bin Fuhairah),… Setelah itu semua, sementara musuh tetap berhasil mengikuti beliau hingga mulut gua Tsaur, di sinilah pentingnya penyerahan total kepada Allah dan tidak pernah bergantung kepada usaha, Rasulullah saw bersabda dengan tawakkal yang sempurna:

يَا أَبَا بَكْرٍ مَا ظَنُّكَ بِاثْنَيْنِ اَللَّهُ ثَالِثُهُمَا ؟ (رواه مسلم)

Wahai Abu Bakar, apa dugaanmu atas dua orang sementara Allah bersama mereka?

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan kalimat orang-orang kafir itulah yang rendah, dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah (9): 40).

Semua itu adalah bukti bahwa sunnah Rasulullah memerintahkan kita untuk memperhatikan sebab-sebab kemenangan disamping penyerahan diri total kepada Allah swt.

Tawakkal para sahabat, tabi’in dan para ulama

Umar bin Khattab ra melihat sekelompok orang yang sedang duduk-duduk di masjid setelah shalat Jum’at, lalu beliau mengingkari mereka sambil berkata:

لاَ يَقْعُدَنَّ أَحَدُكُمْ عَنْ طَلَبِ الرِّزْقِ، وَيَقُولُ: اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي، وَقَدْ عَلِمَ أَنَّ السَّمَاءَ لاَ تُمْطِرُ ذَهَباً وَلاَ فِضَّةً! إِنَّمَا يَرْزُقُ اللهُ النَّاسَ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ. أَمَا قَرَأْتُمْ قَوْلَ اللهِ تَعَالَى: (فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ)؟ (الجمعة: 10)؟

“Janganlah salah seorang diantara kamu menganggur (tidak mencari rizki) lalu hanya berkata: Ya Allah, berikan aku rizki. Padahal ia tahu bahwa langit tidak menurunkan hujan emas dan perak! Allah memberi rizki kepada orang dengan perantara orang lain (baca: muamalah). Tidakkah kalian membaca ayat (yang artinya): “Apabila telah ditunaikan shalat Jumat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumu’ah (62): 10).

Ketika Sa’ad bin Rabi’ al-anshari menawarkan kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhuma separuh dari hartanya, rumahnya bahkan menawarkan untuk menikahi salah satu istrinya setelah ia ceraikan, Abdurrahman menjawab sikap itsar saudaranya dengan penuh ‘iffah:

بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي مَالِكَ وَأَهْلِكَ وَدَارِكَ، إِنَّمَا أَنَا امْرُؤٌ تَاجِرٌ، فَدُلُّوْنِي عَلَى السُّوقِ!

Semoga Allah memberkahi hartamu, keluargamu, dan rumahmu. Aku adalah seorang pedagang, tunjukkan saja aku di mana pasar!

Al-Imam Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri rahimahullah berkata: “Seorang alim jika tidak memiliki ma’isyah akan menjadi penolong bagi orang-orang zalim, ahli ibadah yang tidak mempunyai maisyah akan makan dengan agamanya, dan orang jahil jika tidak punya maisyah akan menjadi penolong orang-orang fasiq.” Disebutkan oleh Abu Thalib Al-Makki dalam “Qut al-qulub” 2/16).

Yang tidak boleh terjadi dan merusak tawakkal adalah jika hati terpaut dengan usaha semata, dan bergantung hanya kepadanya, melupakan Pencipta sebab akibat, lupa bahwa sebab dan usaha tidak pernah berpengaruh dengan sendirinya. Banyak faktor-faktor keberhasilan yang berada di luar jangkauan usaha manusia dan di sinilah ia membutuhkan tawakkal kepada Allah dan tidak boleh bergantung sama sekali dengan usahanya. Seorang petani hanya bisa memilih bibit yang baik, menanamnya di tanah yang subur, menyirami dan memberi pupuk serta menjaganya dari hama, tetapi ia tidak berkuasa mengendalikan apa yang terjadi di dalam tanah, mengatur angin dan cuaca, atau bencana alam yang mungkin saja menimpa tanamannya. Semua itu mengharuskannya menyerahkan segala urusannya kepada Allah semata setelah ia mengerahkan daya dan usaha secara optimal.

Dikisahkan tentang Syaqiq Al-Karkhi bersama kawan karibnya Ibrahim bin Adham. Syaqiq yang merupakan seorang ahli ibadah dan zuhud berpamitan kepada Ibrahim bin Adham untuk perjalanan dagang yang cukup jauh dan lama. Namun baru beberapa hari, ia telah kembali sehingga Ibrahim heran dan bertanya tentang alasannya kembali dengan cepat sebelum menyelesaikan urusannya.

Syaqiq bercerita bahwa ketika ia sedang beristirahat di perjalanan dan memasuki tempat buang hajat ia melihat seekor burung yang buta dan lemah tak dapat terbang. Timbullah rasa iba pada dirinya sambil bergumam: “Dari mana burung ini akan mendapat makanan?” Tak lama berselang datanglah seekor burung membawa makanan dan memeberikannya kepada burung yang lemah tak beradaya itu. Hal ini diperhatikan oleh Syaqiq selama beberapa hari. Akhirnya Syaqiq berkata: “Sesungguhnya yang telah memberi rizki kepada burung butuh tak berdaya ini pasti mampu memberi rizki kepadaku.” Lalu ia memutuskan untuk kembali dan membatalkan perdagangannya.

Di sinilah Ibrahim bin Adham berkata: “Subhanallah Wahai Syaqiq! Mengapa engkau rela hanya menjadi burung yang buta dan lemah yang menanti bantuan burung lain? Mengapa engkau tidak ingin menjadi burung yang berusaha mencari makan dan kembali dengan bantuan untuk saudaranya yang lemah. Tidakkah engkau tahu bahwa Rasulullah saw bersabda:

((اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى))

“Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.” Hadits shahih muttafaq alaih dari Ibnu Umar dan Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhum.

Syaqiq mencium tangan Ibrahim bin Adham lalu berkata: “Engkau guru kami wahai Abu Ishaq.” Allahu a’lam (bersambung)

Redaktur:

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (7 votes, average: 9.14 out of 5)
Loading...
Lahir di Jakarta dan saat ini dianugerahi 4 orang putra-putri. Memiliki latar belakang pendidikan dari Madrasah Tarbiyah Al-Mushlihin, SMPN 56 Jakarta, SMAN 70 Jakarta, dan LIPIA Jakarta Fakultas Syariah. Saat ini bekerja sebagai Dosen di STEI SEBI dan STIU Al-Hikmah. Aktif di berbagai organisasi, antara lain pernah di amanahkan sebagai Ketua Majelis Syura pada LKI LIPIA Jakarta, Yayasan Bina Amal Islami, dan Staf Kaderisasi pada Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Pusat. Beberapa karya ilmiah pernah dihasilkannya, antara lain "Ilmu Ushul Fiqh, metode Penulisan Para Ulama Ushul Fiqh", "Tauhid dalam Surat Al-Ikhlash", dan "Menutup Aurat dan Pandangan Fiqh Ulama Tentangnya". Hobi utamanya adalah nasyid.

Lihat Juga

Salimah Siap Gelar Silaturahim Koperasi dan UKM Nasional

Figure
Organization