Topic
Home / Berita / Ada Apa Dengan Kurikulum Pendidikan Isra’il?

Ada Apa Dengan Kurikulum Pendidikan Isra’il?

dakwatuna.com – Apakah mungkin terwujud perdamaian antara Dunia Arab dan Israel? Umat perlu mengetahui jawaban mendalam atas pertanyaan ini. Penulis pernah sejak lama menyiapkan jawabannya dalam serial makalah. Namun peristiwa demi peristiwa terutama blokade Jalur Gaza tidak memberikan kesempatan bagi penulis untuk menulis artikel ilmiah atas pertanyaan besar ini.

Bukan sekedar perjanjian

Harus disepakati terlebih dulu perdamaian bukan sekedar perjanjian yang diteken oleh pemerintahan dan otoritas dimana pihak yang kuat memaksakan syarat-syaratnya terhadap pihak yang lebih kuat.
Perjanjian-perjanjian itu tidak akan mewujudkan perdamaian. Pengakuan terhadap perjanjian itu tergantung kepada perubahan situasi yang mempengaruhinya. Perdamaian adalah budaya. Tidak akan terwujud perdamaian kecuali dengan mengembangkan budaya dua bangsa sehingga kemungkinan kerja sama dan perdamaian bisa diterima.

Tanpa membentuk budaya perdamaian dan membuang jauh-jauh budaya anti sebuah bangsa, tidak akan terwujud perdamaian. Ini hakikat yang ditegaskan oleh studi sejarah.

Pemerintahan di negara-negara Arab melalui tekanan kuat dari AS agar melalui sistem pengajaran dan pendidikan mengajarkan budaya perdamaian dengan kata lain menerima pihak lain. Mereka juga ditekan agar membuang ayat-ayat dan hadits-hadits yang bertemakan jihad dari kurikulum pendidikan dan pengajaran, juga membuang sejarah tentang peperangan besar yang terjadi antara kaum muslimin dengan kaum salib bahkan membuang istilah Israel sebagai musuh.

AS mengirim para pakarnya untuk mengembangkan pendidikan. Sayangnya para pendidik Dunia Arab kehilangan identitas dan jatidiri budayanya dan keistimewaan peradabannya sehingga tidak memiliki semangat untuk membela bangsanya. Mereka lupa dari impian untuk merdeka secara utuh dan maju. Ia menjadi “keamerikaan”, menolak ekstrimisme yang mengecam permusuhan yang dilakukan Israel dan AS, mengakui pihak lain harus diperlakukan dengan tingkat toleransi yang tinggi, “lebih baik engkau berikan pipi kirimu jika pipi kananmu ditampar” dengan mengutip Jesus mengatakan itu.

Dalam proses pengembangkan pendidikan dan pengajaran, Yahudi harus diterima di Timteng sebab mereka adalah keturunan paman, mereka sudah maju, karenanya, para pendidik berlomba-lomba mendapatkan penasehat atau konsultan pendidikan dari bangsa Yahudi karena dianggap inovatif dan pakar dalam setiap bidang keduniaan.

Dalam pengembangan pendidikan, pengajar Arab harus membuktikan keahliannya dalam tugas-tugas yang bersifat modern di instansi pemerintahan dan lembaga-lembaga global dengan menolak setiap sikap ekstrim atau terorisme. Karenanya, mereka harus mumpuni dalam bahasa Inggris. Sebab bahasa ini dianggap tidak mengandung makna kecintaan agama dan bangsa. Bahasa Arab selalu dianggap digunakan oleh kolumnis ekstrim dalam memobilisasi publik dalam melakukan perlawanan dengan penjajah.

Kurikulum modern di sekolah dan perguruan tinggi Dunia Arab sudah mencerminkan gambaran positif terhadap AS dan Israel namun terasa menggelikan. Harus kita akui bahwa pemerintah-pemerintah Arab melakukan lebih besar dari apa yang diharapkan Israel dan AS sejak 1977 hingga sekarang. Karenanya, AS dan Israel selalu mendukung mereka dengan memberikan kebebasan sepenuhnya di bidang media sehingga kelompok yang dianggap ekstrim tidak bisa membuktikan ‘taring’nya dan memobilisasi massa anti Israel dan AS.

Pemerintah-pemerintah Arab mempekerjakan sejumlah orang yang tidak memiliki kapasitas di bidang jurnalistik sesuai dengan permintaan masa. Mereka hanya bisa memuji AS dan Israel dan mengecam logika Arab dan Islam.

Orientasi lain di Israel

Sementara Israel, meski sudah tercapai kesepakatan-kesepakatan perdamaian, mereka masih mengajarkan budaya kedengkian dan kebencian terhadap Dunia Arab dan kaum muslimin. Mereka mengajarkan kepada anak-anak mereka bahwa tuhan memilih mereka untuk menghabisi bangsa Arab. Israel menggunakan semua perangkat pendidikan, pengajaran, kebudayaan dan media untuk menyebarkan budaya kebencian terhadap Dunia Arab. Mereka juga menggunakan media AS dalam menyebarkan budaya ini. Inilah politik resmi Israel. Ia tidak mungkin mengizinkan kepada seorang pun untuk intervensi dalam sistem dan kurikulum pengajaran mereka yang mencerminkan logika anak-anak dan pemuda mereka yang selalu ingin memerangi Dunia Arab.

Dalam kurikulum sekolah, Israel mengajar budaya rasialisme yang berlebihan. Mereka dituntut untuk meyakini bahwa mereka berasal dari bangsa tuhan yang terpilih dan bangsa Arab adalah bangsa rendahan yang lebih rendah dari derajat manusia.

Karenanya, dalam polling yang dilakukan di sekolah-sekolah dasar Israel, 90% pelajar di Israel meyakini bahwa Palestina tidak memiliki hak di tanah Palestina dan harus diusir. Kurikulum pendidikan mereka ingin mencetak generasi yang lebih kental permusuhannya kepada bangsa Arab dan lebih rasis, siap berperang dan mengusir mereka dari Palestina. Bagi mereka membunuh bangsa Arab adalah tindakan yang dibenarkan, kewajiban agama, sarana mendekatkan diri kepada tuhan Israel. Terkadang kurikulum Israel menyebut bangsa Arab dengan sebutan tak pantas bagi manusia.

Prof. Danial Bahratal dari Universitas Tel Aviv melakukan studi terhadap 124 buku sekolah di tingkat berbeda di Israel. Ia menyimpulkan bahwa Israel melakukan perang adil dan legal terhadap Dunia Arab. Ia menggambarkan positif bagi Israel dan negatif bagi Dunia Arab yang menimbulkan kebencian dan permusuhan. Penggambaran ini jelas menegaskan bahwa Israel menolak perdamaian karena menyiapkan generasi mendatangnya untuk perang panjang.

Pada saat yang sama, Yahudi di Amerika menguasai penerbit-penerbit buku-buku sekolah yang isinya menyebarkan budaya kebencian kepada Dunia Arab dan kaum muslimin dan menggambarkan positif tentang Israel. Karenanya, AS selalu mendukung Israel dalam perangnya melawan Dunia Arab.

Dengan kenyataan seperti ini apakah mungkin terwujud perdamaian antara Arab dan Israel?

Dr. Ishack Al-Farhan, salah satu pakar pendidikan yang sangat jujur dan ikhlas yang pernah menjadi menteri pendidikan dan pengajaran di Jordania mengatakan, UNESCO meminta kepadanya saat menjabat menteri untuk menghapus kurikulum pengajaran yang menimbulkan kebencian kepada Israel. Menjawab itu, Farhan membentuk tim untuk mengevaluasi sistem dan kurikulum pengajaran Israel. Hasilnya, tim evaluasi menemukan bahwa perbatasan Israel adalah dari sungai Nil dan Efrat, sungai Jordania memisahkan wilayah Israel Timur dari wilayah Israel Barat, kota Amman dan Jars juga diklaim sebagai kota Israel.

Karenanya, Dr. Ishack mengirim surat kepada UNESCO yang berisi,”Suruhlah Israel mengubah sistem dan kurikulum pendidikannya, kemudian tulislah hasilnya barangkali kami mengubah pendirian.”

Apa pendirian pemerintah-pemerintah Arab ? Apakah mungkin mereka melakukan seperti yang dilakukan oleh Dr. Ishak Farhan ? Biarkan kami bermimpi memiliki menteri-menteri pendidikan yang memiliki keberanian seperti Farhan. (Prof. Dr. Sulaiman Shalih, Infopalestina)

Redaktur:

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (29 votes, average: 8.86 out of 5)
Loading...

Tentang

Tim dakwatuna adalah tim redaksi yang mengelola dakwatuna.com. Mereka terdiri dari dewan redaksi dan redaktur pelaksana dakwatuna.com

Lihat Juga

Opick: Jangan Berhenti Bantu Rakyat Palestina!

Figure
Organization