Topic
Home / Narasi Islam / Dakwah / Syarat Kemenangan Dalam Dakwah

Syarat Kemenangan Dalam Dakwah

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS al-Hajj: 40-41)

Ini adalah janji yang Allah ungkapkan berulang kali. Di surat Muhammad, Allah bersabda:

Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS Muhammad: 7)

Siapapun yang konsekuen membela agama ini Allah member jaminan kemenangan. “Jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.”

Ayat di atas adalah janji Allah yang pasti terjadi. Hati yang beriman, jiwa yang penuh dengan cahaya bashirah akan menangkap firman Allah ini sebagai jaminan yang pasti dipenuhi. Tidak tersisa sedikitpun keraguan bahwa pembela agama Allah pasti akan mendapatkan kemenangan.

Tapi ternyata Allah memberikan criteria yang cukup spesifik. Sederhana dan jelas. Empat kriterianya: mendirikan sholat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan melarang dari yang munkar. Tampaknya syarat yang cukup mudah dan simple. Tetapi kalau kita teliti ternyata ayat tersebut tidak berbicara tentang sekedar pekerjaan sholat, zakat dan dakwah. Tetapi ayat tersebut berbicara tentang integritas kuat yang diindikasikan dengan empat hal utama.

Mendirikan Sholat

Mereka yang berhak mendapatkan perolongan Allah itu bukan sekedar mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban tersebut dalam kondisi yang biasa-biasa saja. Yang Allah katakan adalah orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka, mereka melakukan itu semua. Sebelum kita membahas tentang empat hal itu, mari kita perhatikan prasyaratnya. Melakukan sholat, zakat, dan tetap memperjuangkan kebenaran dalam kondisi berkuasa dan memiliki posisi, ternyata tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Betapa banyak orang-orang yang jika disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaannya mereka menawar kedisiplinan dalam sholat. Dengan mudah meninggalkan shalat jamaah dengan berbagai alasan.

Mari bersama-sama kita renungi hadits berikut:

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ » رواه البخاري

“Dari Anas dari Rasulullah SAW beliau berkata: Luruskan shaf-shaf kalian karena lurusnya shaf adalah bagian dari pendirian shalat.” (HR al-Bukhari)

Beliau mengatakan bahwa meluruskan shof adalah bagian dari mendirikan sholat. Kita telah mengetahui bahwa mengerjakan sholat tidak sama dengan mendirikan sholat. Yang dituntut dari kita adalah mendirikan sholat. Kalau meluruskan barisan sholat saja merupakan bagian dari mendirikan sholat, tentu saja tidak mungkin kita mendirikan sholat jika tidak ada shofnya. Artinya sholat yang tegak adalah sholat berjamaah. Kembali ke ayat 41 surat al-Hajj tadi, bahwa syarat pertama orang-orang yang Allah tolong adalah mereka tetap disiplin sholat berjamaah bagaimanapun sibuknya.

Kalau kita berkaca pada sejarah Islam kita dapat temukan bahwa mereka yang berhasil mengangkat panji-panji Islam di berbagai peperangan adalah orang-orang yang disiplin dalam shalat berjamaah. Ambil contoh misalnya Muhammad al-Fatih yang mampu menaklukkan Konstantinopel ibukota Bizantium. Diriwayatkan bahwa setelah beliau memasuki kota Konstantinopel (sekarang Istanbul) mereka sholat berjamaah. Sebelumnya Muhammad al-Fatih bertanya, “Siapa di antara pasukan Islam ini yang sejak baligh sampai sekarang ini belum pernah tertinggal shalat Shubuh berjamaah? Supaya dia maju menjadi imam.” Tidak ada yang menjawab. Sampai akhirnya beliau sendiri berkata, “Alhamdulillah yang telah menjadikan saya sejak baligh sampai sekarang belum pernah meninggalkan sholat shubuh berjamaah.”

Pada masa kini juga kita dapatkan contoh yang sama. Perdana Menteri Palestina Ismail Haniyah yang terpilih dalam jejak pendapat Islam OnLine sebagai pemimpin Islam terbaik, juga bukan hanya disiplin sholat jamaah. Bahkan beliau adalah imam mesjid yang mengimami shalat tarawih sepanjang Ramadhan tahun lalu. Dan bacaan beliau dikenal begitu menyentuh sehingga jamaah khusyu’ dan banyak yang menangis tersentuh bacaan al-Qur’an beliau.

Pada sisi lain kita temukan bahwa fenomena futur dalam sholat juga adalah indicator utama degradasi dalam peralihan generasi. Allah SWT bersabda:

”Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS Maryam: 59)

Ayat tersebut bercerita tentang generasi yang melanjutkan generasi-generasi pilihan yang Allah ceritakan pada ayat 58 sebelumnya, generasi para Nabi dan pengikut-pengikutnya yang setia. Masalah yang dihadapi oleh generasi-generasi teladan adalah mereka tidak dilanjutkan oleh generasi selanjutnya dengan kualitas keimanan yang sama. Allah menyebutkan masalah yang pertama dalam generasi tersebut adalah mereka menyia-nyiakan sholat. Kita bisa lihat bahwa sholat adalah criteria pertama yang Allah sebut dalam syarat kemenanga, dan juga shalat adalah indicator terpenting yang muncul dalam kemunduran sebuah umat.

Menunaikan Zakat

Syarat ketiga adalah menunaikan zakat. Ini adalah syarat penting dan bukti utama kebenaran iman. Dalam terminology al-Qur’an dan as-Sunnah kata az-zakat sering diwakili dengan istilah shadaqah seperti pada surat at-Taubah ayat 58 dan ayat 103.
Karena itu Rasululah menyatakan :

وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ

“Dan shadaqah adalah bukti.” (HR Muslim)

Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa shadaqah adalah bukti pembenaran orang beriman dan dalil kebenaran imannya secara zhahir dan batin.

Keimanan adalah klaim yang perlu dibuktikan kebenarannya. Zakat adalah bentuk kerelaan untuk memberi dan untuk sedikit berkorban.

Dia juga sebuah mekanisme paten untuk sebuah keberpihakan yang konkret kepada orang lemah dan miskin. Karena itu yang paling pertama disebut dalam masharif az-zakat adalah fakir dan miskin. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda tentang pelaksanaan zakat:

صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Shadaqah dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dari sini bisa kita tangkap bahwa orang-orang yang Allah tolong adalah mereka yang menunaikan zakat, sebagai bukti konkret keimanan, pengorbanan, dan pelayanan kepada orang-orang fakir dan lemah. Dan dapat kita pahami bahwa orang-orang yang Allah beri kedudukan di muka bumi layaknya adalah orang-orang yang sangat jelas kapabilitasnya dalam memberikan sevice kepada orang-orang lemah secara khusus dan kepada seluruh rakyat secara umum.

Memerintahkan Kepada Kebaikan dan Melarang dari Kemunkaran

Syarat berikutnya adalah memerintahkan kepada al-ma’ruf. Dan ini bisa dikatakan sebagai the prime mission umat Islam (QS Ali Imran: 110). Artinya kalau kekuasaan tidak dapat berimpact positif langsung kepada penyebaran kebaikan dan eliminasi atau reduksi kemungkaran maka itu adalah kecelakaan sejarah bagi sebuah bangsa. Artinya komitmen untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta perlawanan terhadap kemunkaran adalah prasyarat mutlak harus dipenuhi untuk layak tampil sebagai pemimpin umat.

Sering terjadi dalam perjalanan umat ada segolongan orang yang berjuang merebut kekuasaan. Mereka meminta dukungan masyaakat dengan janji agar mereka menegakkan agama Allah. Akan tetapi ketika kesempatan untuk menyeru dan membela agama Allah sudah ada di tangan, mereka disibukkan oleh kepentingan masing-masing. Kondisi tersebut mirip dengan kondisi yang disebut dalam surat at-Taubah ayat 75-77:

dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada Kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah Kami Termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.

Orang yang berjanji: “kalau saya berkuasa saya akan menegakkan kebenaran.” Lebih krusial dari pada orang berjanji “Kalau saya kaya saya akan bersedekah.” Sehingga ancaman hukuman kemunafikan bagi orang yang tidak memenuhi janjinya dalam berkuasa lebih keras dari pada ancaman orang yang berjanji sedekah setelah kaya.

Dan bukan main-main akibat ingkar janji seperti itu adalah tumbuhnya kemunafikan dalam hati. Betapa celakanya seseorang yang mendapatkan hukuman ini. Karena tempatnya orang munafiq adalah kerak terendah di dalam neraka. Na’udzu billah min dzalik.

Redaktur:

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (21 votes, average: 9.38 out of 5)
Loading...
Lahir di Kediri dan memiliki latar belakang pendidikan dari S1 Universitas Islam Madinah, dan S2 Universitas Al-Iman Yaman dengan Tesis berjudul "Futurologi dalam Qur'an dan Sunnah". Aktif sebagai Koordinator Bidang Pendidikan di PP Ikatan Da'i Indonesia (IKADI). Dalam berorganisasi pernah diamanahkan sebagai Ketua Rohis SMAN 53 Jakarta Timur, Ketua Senat Mahasiswa Asing Universitas Al-Iman Yaman, Ketua MPA HIPMI Yaman, Ketua Bidang Pendidikan Lembaga Masjid Hidayatullah, dan Bendahara Yayasan Islam Al-Qudwah. Beberapa makalah pernah ditulisnya, antara lain "Penyebab Perbedaan dalam Fiqh", "Pornografi dalam Pandangan Islam", dan "Keislaman antara Formalitas dan Esensi".

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization