Topic
Home / Narasi Islam / Sejarah / Bahtera Nabi Nuh

Bahtera Nabi Nuh

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Agar misi dakwah ilallah berjalan dengan lancar dan kontinu, Allah swt. membekali para nabi dan rasul dengan salah satu sifat asasi, yaitu sabar. Sabar dalam terus mengajak kebaikan, sabar dalam menghadapi hinaan, tegar dalam menghadapi penentangan, sebagaimana mereka juga dibekali dengan sifat bijaksana dan santun. Dengan demikian, tidak ada lagi hujjah atau udzur bagi orang kafir dengan menyalahkan Allah swt. di yaumil akhir kelak setelah datangnya para nabi dan rasul di tengah-tengah mereka.

Membuktikan Kesabaran

Adalah Nabi Nuh alaihissalam, salah satu dari rasul yang memiliki sebutan ulul azmi, yang memiliki ketegaran. Ia mendakwahi kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun. Subhanallah, waktu yang tidak sebentar. Ia sabar menghadapi celaan kaumnya, ia tegar menghadapi penentangan mereka. Sisi lain, ia sangat menghendaki kebaikan dan keimanan kaumnya. Akan tetapi mereka bukannya menerima seruan dakwah Nabi Nuh, justru kian hari mereka kian menolak dan menentang.

Perihal penolakan kaumnya, Nabi Nuh alaihissalam mengadu kepada Allah swt. Ia merasa tidak ada peluang kebaikan dan keimanan lagi dari kaumnya. Akhirnya Allah swt. memberitahu Nuh bahwa kaumnya tidak akan ada yang mau beriman lagi.

Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja). Karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.” (Huud: 36)

Ketika mengetahui bahwa Allah swt. telah memutuskan kalimat-Nya bahwa tidak akan ada yang beriman seorang pun dari mereka setelah ini, Allah telah menutup kalbu mereka dan menguncinya dengan gembok yang kuat, Nabi Nuh alaihissalam berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan kecuali anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir. (Nuh: 26-27)

Allah swt. mengabulkan pengaduan Nabi Nuh dan memerintahkannya untuk bersiap-siap mengadakan penyelamatan bila tiba saatnya. “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (Huud: 37)

Melaksanakan Perintah Tanpa Ragu

Nabi Nuh menjauh dari pusat kota untuk membuat bahtera. Ia mulai bekerja. Sampai di sini, ia pun tidak luput dari celaan dan hinaan kaumnya.

Sebagian mereka mengatakan, “Wahai Nuh, kamu sebelum ini mengaku sebagai Nabi dan Rasul, bagaimana sekarang kamu menjadi tukang kayu? Apakah kamu melepaskan kenabian? Ataukah kamu lebih suka menjadi tukang kayu?”

Sebagian yang lain mengatakan, “Kamu membuat bahtera di tempat yang jauh dari sungai dan laut? Apakah kamu mengharapkan banjir akan menjalankan bahteramu? Atau kamu paksa angin akan membawanya terbang?”

Nabi Nuh tidak menggubris hinaan dan celaan mereka. Ia dengan santun melalui omong kosong mereka, sambil berkata, “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal.” (Huud: 38-39)

Nabi Nuh berkonsentrasi membuat bahtera. Ia menyusun kayu-kayu, mengguatkan susunan-susunannya, sampai akhirnya jadilah bahtera besar dan kokoh. Nabi Nuh menunggu keputusan Allah swt. sampai akhirnya Allah swt mewahyukan kepadanya: “Jika sudah datang keputusan Kami, telah tampak tanda-tanda ayat-ayat Kami, maka berlindunglah kamu di dalam bahtera, dan bawalah orang yang beriman dari keluarga dan kaummu, dan bawalah setiap hewan dan tanaman masing-masing sepasang.”

Tibalah putusan Allah swt., yaitu ketika pintu-pintu langit terbuka dengan mengguyurkan hujan yang sangat deras, sedangkan bumi memancarkan sumber air yang sangat kencang, hingga menyebabkan air bah meluap, meninggi dan terus meninggi. Nabi Nuh bergegas menuju bahteranya dengan melaksanakan segala perintah Tuhannya, yaitu membawa manusia, hewan, dan tanaman berpasangan.

Tawakkal kepada Allah

Bahtera melaju dengan nama Allah swt., Dzat yang menjalankan dan melepasnya. Kadang bahtera melaju dengan tenang, kadang melaju dengan goncangan hebat.

Tsunami menggulung setiap yang diterjangnya. Ombak menggunung mengubur orang-orang kafir. Busa air bah bak kain kafan yang menyelimuti mereka. Mereka berjuang menyelamatkan diri dari maut, padahal maut mengejar dan mengalahkan mereka. Mereka melawan ombak, justru ombak menggilas mereka.

Nabi Nuh dan kaumnya tenang di atas bahtera, sampai akhirnya ia melihat putranya, Kan’an –penentang Allah, membenci dan menjauh dari ayahnya– berusaha menyelamatkan diri dari gulungan ombak yang dahsyat. Ia terlihat berusaha memegang tali agar selamat, atau menuju bukit agar terhindar dari tsunami. Akan tetapi maut mengincar dirinya.

Melihat kejadian itu, Nabi Nuh sebagai seorang ayah merasa kasihan. Cinta dan kasih-sayang seorang ayah bergolak. Nabi Nuh memanggil putranya dengan harapan panggilan itu sampai pada kalbu, sehingga ia mau beriman. Atau sampai pada perasaan yang paling dalam sehingga ia mau mendengar seruan ayahnya. “Wahai putraku, mau ke mana kamu? Kamu lari dari takdir Allah dan keputusan-Nya menuju takdir dan keputusan-Nya yang lain. Kemari beriman, wahai putraku, kamu akan bersatu lagi dengan keluargamu, dan kamu akan selamat dari tsunami ini.”

Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (Huud: 42)

Seruan sang ayah rupanya tidak sampai pada lubuk hatinya, tidak sampai ke relung kalbunya. Ia menyangka mampu menghindar dari keputusan Allah swt., ia mengira bisa selamat dari takdir-Nya. Kan’an menjawab, ”Menjauhlah kamu dari saya, karena saya akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menyelamatkanku dari air bah ini!”

Nabi Nuh menyeru dengan penuh kegalauan dan kekhawatiran, ”Wahai putraku, tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Huud: 43)

Melihat putranya tenggelam di depan mata kepalanya, Nabi Nuh berujar dengan penuh kesedihan dan duka cita: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.” (Huud: 45)

Allah swt. menegur Nabi Nuh, “Wahai Nuh, ia bukan dari anggota keluargamu, ia juga bukan dari keluarga besarmu. Ia telah menentang, ia telah nyata-nyata kufur, maka jangan kamu anggap ia sebagai keluargamu, kecuali orang yang telah beriman kepadamu, mempercayai risalahmu, mengikuti dakwahmu. Itulah keluargamu yang Aku janjikan akan selamat dan mendapatkan kemenangan. ”Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.”(Rum: 47)

Adapun orang-orang yang menentang risalahmu, mendustakan kalimat Tuhanmu, ia keluar dari anggota keluargamu, jauh dari syafa’atmu, meskipun kalian ada hubungan darah atau nasab.

Allah berfirman: “Hai Nuh, Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Huud: 46)

Mengakui Kesalahan dan Segera Bertaubat

Seketika itu Nabi Nuh paham bahwa perasaannya telah menjerumuskan kepada kesalahan. Dorongan cinta telah menutupinya dari kebenaran. Ia lebih pantas menengadahkan tangan bersyukur kepada Allah swt. yang telah menyelamatkan dirinya dan orang-orang beriman dari tsunami, dan atas ditimpakannya kehancuran dan ditenggelamkannya orang-orang kafir. Nabi Nuh kembali kepada Allah swt., memohon ampun atas kesalahan dirinya seraya berlindung akan murka-Nya. Ia berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Huud: 47)

Ketika tsunami telah sampai puncaknya, dan orang-orang dzalim telah tergilas olehnya, langit tidak lagi menurunkan hujan, bumi tidak lagi memancarkan sumber air, dan bahtera pun selamat menepi di Bukit Judi. Bukit Judi terletak di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan Mesopotamia.

Dan difirmankan: Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah, dan air pun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim.” (Huud: 44).

Dikatakan kepada Nabi Nuh: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada (pula) umat-umat yang kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami.” (Huud: 48)

Sebagian nilai-nilai dari kisah di atas

Pertama, bekal asasi penyeru dakwah ilallah swt. adalah sabar; sabar dalam terus mengajak kebaikan, dan sabar atas penolakan objek dakwah. ”Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”. Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Fushshilat: 33-35)

Kedua, tidak lari dari medan dakwah, sehebat apapun penentangan yang dihadapi. Nabi Nuh tidaklah memohon agar kaumnya dihancurkan, kecuali setelah Allah swt memberitahunya, bahwa tidak ada yang akan beriman lagi di antara mereka.

Ketiga, melaksanakan perintah, tanpa komentar dan meninggalkan larangan tanpa kompromi. Rasulullah saw bersabda, ”Tinggalkanlah apa yang aku larang, karena penyebab kaum sebelum kalian hancur adalah karena mereka selalu mendebat dan menyalahi para nabi mereka. Jika aku larang sesuatu bagimu, maka jauhilah. Dan jika aqku perintahkan untukmu, maka kerjakanlah sesuai dengan kesanggupanmu.” (HR. Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, Jilid 22, Hal. 255).

Keempat, bahwa tugas seorang muslim adalah berdakwah, adapun hidayah adalah hak prerogatif Allah swt saja. Sekalipun itu anak kita sendiri, kalau Allah swt tidak menentukan mendapat hidayah, maka ia tidak akan beriman. Sebagaimana kisah paman Nabi Muhammad saw., Abu Thalib yang meninggal dalam keadaan kafir.

Kelima, segera minta ampun dan beristighfar ketika melakukan kesalahan, sekecil apapun kesalahan itu dan mengiringinya dengan mengerjakan kebaikan. Rasulullah saw bersabda, ”Dan iringilah kesalahan dengan perbuatan kebaikan, agar kebaikan itu menghapusnya.” (Hadits Shahih berdasarkan syarat Bukhari-Muslim, Kitab Mustadrak Imam Hakim, Jilid I, Hal. 174).

Redaktur:

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (24 votes, average: 9.33 out of 5)
Loading...

Tentang

� Lahir di kota Kudus, Jawa Tengah, pada tanggal 05 April 1975. Menyelesaikan jenjang pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah di Ma�ahid Krapyak Kudus. Tahun 1994 melanjutkan kuliah di LIPIA Jakarta. Program Persiapan Bahasa Arab dan Pra Universitas. Tahun 2002 menyelesaikan program Sarjana LIPIA di bidang Syari�ah. � � Semasa di bangku sekolah menengah, sudah aktif di organisasi IRM, ketika di kampus aktif di Lembaga Dakwah Kampus LIPIA, terakhir diamanahi sebagai Sekretaris Umum LDK LIPIA tahun 2002. � � Menjadi salah satu Pendiri Lembaga Kajian Dakwatuna, lembaga ini yang membidangi lahirnya situs www.dakwatuna.com , sampai sekarang aktif sebagai pengelola situs dakwah ini. � � Sebagai Dewan Syari�ah Unit Pengelola Zakat Yayasan Inti Sejahtera (YIS) Jakarta, dan Konsultan Program Beasiswa Terpadu YIS. � � Merintis dakwah perkantoran di Elnusa di bawah Yayasan Baitul Hikmah Elnusa semenjak tahun 2000, dan sekarang sebagai tenaga ahli, terutama di bidang Pendidikan dan Dakwah. � � Aktif sebagai pembicara dan nara sumber di kampus, masjid perkantoran, dan umum. � Berbagai pengalaman kegiatan internasional yang pernah diikuti: �� � Peserta Pelatihan Life Skill dan Pengembangan Diri se-Asia dengan Trainer Dr. Ali Al-Hammadi, Direktur Creative Centre di Kawasan Timur Tengah, pada bulan Maret 2008.� � Peserta dalam kegiatan Muktamar Internasional untuk Kemanusian di Jakarta, bulan Oktober 2008.� � Sebagai Interpreter dalam acara �The Meeting of Secretary General of International Humanitarian Conference on Assistanship for Victims of Occupation� bulan April 2009.� � Peserta �Training Asia Pasifik �Curriculum Development Training� di Bandung pada bulan Agustus 2009.� � Peserta TFT Nasional tentang Problematika Palestina di UI Depok, Juni 2010 dll.� �� Karya-karya ilmiyah yang pernah ditulis: �� � Fiqh Dakwah Aktifis Muslimah (terjemahan), Robbani Press� � Menjadi Alumni Universitas Ramadhan Yang Sukses (kumpulan artikel di situs www.dakwatuna.com), Maktaba Dakwatuna� � Buku Pintar Ramadhan (Kumpulan tulisan para asatidz), Maktaba Dakwatuna� � Artikel-artikel khusus yang siap diterbitkan, dll.� �� Sudah berkeluarga dengan satu istri dan empat anak; Aufa Taqi Abdillah, Kayla Qisthi Adila, Hayya Nahwa Falihah dan Muhammad Ghaza Bassama. �Bermanfaat bagi Sesama� adalah motto hidupnya. Contak person via e-mail: ulistofa-at-gmail.com� atau sms 021-92933141.

Lihat Juga

Sabar

Figure
Organization