Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Tarikh Tasyri' / Tarikh Tasyri’ (Bagian Pertama)

Tarikh Tasyri’ (Bagian Pertama)

dakwatuna.com – Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Al-Jatsiyah: 18)

Makna Syari’ah dan Tasyri’

Kata syari’ah dalam bahasa Arab berarti mawrid al-ma (sumber air) yang jernih untuk diminum. Lalu kata ini digunakan untuk mengungkapkan al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus). Sumber air adalah tempat kehidupan dan keselamatan jiwa, begitu pula dengan jalan yang lurus yang menunjuki manusia kepada kebaikan, di dalamnya terdapat kehidupan dan kebebasan dari dahaga jiwa dan akal.

Syari’ah Islamiyah didefinisikan dengan “apa yang telah ditetapkan Allah Taala untuk hamba-hamba-Nya berupa aqidah, ibadah, akhlaq, muamalat, dan sistem kehidupan yang mengatur hubungan mereka dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama makhluk agar terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sedangkan kata tasyri’ berarti penetapan atau pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak diutusnya Rasulullah saw dan berakhir hingga wafat beliau. Namun para ulama kemudian memperluas pembahasan tarikh (sejarah) tasyri’ sehingga mencakup pula perkembangan fiqh Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang sejarah umat Islam. Oleh karena itu pembahasan tarikh tasyri’ dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw hingga masa kini.

Urgensi Tarikh Tasyri’

1. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui prinsip dan tujuan syariat Islam.

2. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui kesempurnaan dan syumuliyah (integralitas) ajaran Islam terhadap seluruh aspek kehidupan yang tercermin dalam peradaban umat yang agung terutama di masa kejayaannya. Bahwa penerapan syariat Islam berarti perhatian dan kepedulian negara dan masyarakat terhadap pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, akhlaq, aqidah, hubungan sosial, sangsi hukum, dan aspek-aspek lainnya. Dengan demikian adalah keliru jika ada persepsi bahwa syariat Islam hanyalah berisi hukum pidana seperti qishash, rajam, dan sejenisnya.

3. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat menghargai usaha dan jasa para ulama, mulai dari para sahabat Rasulullah saw hingga para imam dan murid-murid mereka dalam mengisi khazanah ilmu dan peradaban kaum muslimin. Semua itu mereka ambil dari cahaya kenabian yang dibawa oleh Rasulullah saw.

4. Melalui kajian tarikh tasyri’ akan tumbuh dalam diri kita kebanggaan terhadap Syariat Islam sekaligus optimisme akan kembalinya siyadah al-syari’ah (kepemimpinan syariat) dalam kehidupan umat di masa depan.

Syariat Islam dan Hukum Wadh’i (Hukum Positif)

Antara syariat Islam yang bersumber dari Allah Taala dengan hukum dan undang-undang buatan manusia sebenarnya tak dapat dibandingkan, mengingat perbedaan antara Al-Khaliq yang Maha Sempurna dengan makhluk yang maha lemah dan maha kurang. Keraguan terhadap kelaikan dan keadilan syariat Islam berarti keraguan terhadap sifat Allah Taala yang Maha Sempurna, Maha Tahu dan Maha Bijaksana, atau berarti keinginan kuat untuk membebaskan hawa nafsu dari aturan-aturan Ilahi. Dan kedua hal ini berarti kekufuran.

Al-Syahid ‘Abdul Qadir ‘Audah dalam bukunya “Al-Tasyri’ Al-Jina-i fi Al-Islam” (Hukum Pidana dalam Islam) menyebutkan beberapa keunggulan syariat Islam atas hukum dan undang-undang buatan manusia, di antaranya:

1. Hukum wadh’i tidak mengandung keadilan yang hakiki karena dibuat oleh manusia yang memiliki hawa nafsu serta kepentingan. Jiwa Manusia tunduk dengan perasaan dan kecenderungan tertentu sehingga produk hukum yang dihasilkan pun tidak mungkin merealisasikan keadilan hakiki. Sedangkan syariat Islam bersumber dari Allah Yang Maha Kaya dan tidak membutuhkan makhluk-Nya sehingga keadilannya adalah sebuah kepastian.

Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Luqman: 12).

Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa. (Thaha: 52).

Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am: 115).

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49).

2. Manusia tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan, apa lagi masa depan yang jauh. Pengetahuan manusia hanya didasari pengalaman dan keadaan yang melingkupinya saat ini. Oleh karena itu, hukum dan peraturan yang dibuatnya hanya mempertimbangkan ‘kekinian’ dan ‘kesinian’ serta pasti perlu diubah dan diperbaiki di lain tempat dan waktu. Berbeda dengan syariat yang bersumber dari Dzat yang Maha Mengetahui masa lalu, kini dan masa depan, pasti mampu menjawab tantangan setiap tempat dan zaman.

Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu tampakkan atau rahasiakan)?! Padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?
(Al-Mulk: 14).

3. Hukum wadh’i memiliki prinsip-prinsip yang terbatas, diawali kemunculannya dari aturan keluarga, kemudian berkembang menjadi aturan suku atau kabilah dan seterusnya. Dan baru memiliki teori-teori ilmiahnya pada abad ke-19 M. Berbeda dengan syariat Islam yang sejak masa kehidupan Rasulullah saw telah menjadi undang-undang yang lengkap dan sempurna memenuhi segala kebutuhan individu, keluarga, masyarakat, negara serta hubungan internasional. Di samping itu, sejak diturunkan, Syariat Islam tidak terbatas hanya untuk kaum atau bangsa tertentu melainkan untuk semua umat manusia sepanjang zaman.

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
(Al-Anbiya: 107)

Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3).

4. Hukum wadh’i hanya mengatur hubungan sesama manusia tanpa memiliki konsep aqidah tauhid yang menghubungkan semua itu dengan Allah Taala. Sedangkan syariat Islam dilandasi oleh tauhid dan keimanan kepada Allah dan hari akhir yang menjadi motivasi utama ketaatan seorang hamba kepada syariat Allah Taala. Oleh karenanya hukum wadh’i kehilangan kekuasaannya atas jiwa manusia di mana ia hanya mengandalkan sangsi hukum semata dan ini memberi kesempatan kepada para penjahat untuk mencari celah kelemahan hukum dan menggunakan berbagai tipu muslihat agar lepas dari jeratan hukum. Sedangkan syariat Islam selalu memperhatikan pembinaan aqidah umat sebelum, ketika, dan setelah penegakan hukum-hukumnya, sehingga sanksi hukum hanyalah salah satu faktor untuk membuat masyarakat menjadi baik dan tertib.

Motivasi spiritual, berupa pengawasan Allah Taala, rasa harap akan ridha-Nya dan takut akan murka-Nya menjadi faktor utama ketaatan warga negara terhadap hukum.

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (An-Nisa: 93)

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا بِقَوْلِهِ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ فَلاَ يَأْخُذْهَا. (البخاري ومسلم).

Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadukan perkara di antara kalian kepadaku, boleh jadi salah satu pihak lebih pandai berargumentasi dari pada pihak lain (sehingga aku memenangkannya). Maka siapa yang aku menangkan perkaranya karena kepandaiannya berargumentasi (padahal sebenarnya lawannya yang berhak dimenangkan), berarti aku telah memberikan kepadanya bagian dari siksa neraka, maka janganlah ia mengambilnya.” (H.R. Bukhari-Muslim).

5. Hukum wadh’i mengabaikan faktor-faktor akhlaq dan menganggap pelanggaran hukum hanya terbatas pada hal-hal yang membahayakan individu atau masyarakat secara langsung. Namun hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas perbuatan zina, misalnya, kecuali jika ada unsur paksaan dari salah satu pihak. Hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas peminum minuman keras kecuali jika dilakukan di depan umum dan mengancam keamanan orang lain. Hukum wadh’i tidak memberi sanksi bagi pezina karena zina adalah perbuatan keji yang merusak moral, mengganggu keutuhan rumah tangga, mengacaukan nasab keturunan, dan berpotensi menimbulkan berbagai bahaya kesehatan serta tersebarnya kerusakan moral. Hukum wadh’i tidak menghukum peminum arak karena arak dan semua yang memabukkan itu merusak akal dan tubuh, merusak akhlaq, dan menyia-nyiakan harta. Tetapi sekali lagi sangsi hukum hanya diberlakukan jika perbuatan itu dianggap membahayakan orang lain secara langsung dalam konteks fisik dan keamanan.

Sedangkan syariat Islam adalah syariat akhlaq yang memperhatikan kebaikan mental dan fisik masyarakat secara umum, memperhatikan kebahagiaan dunia akhirat sekaligus, sehingga Islam melarang dan menetapkan sangsi atas zina karena ia adalah perbuatan keji yang diharamkan Allah Swt dengan berbagai dampak negatifnya meskipun dilakukan suka sama suka, begitu pula dengan minum minuman yang memabukkan.

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
(Al-Isra: 32).

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan menegakkan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah: 90-91)

Fase-fase Tarikh Tasyri’

1. Fase Tasyri’: dari awal kenabian Muhammad saw hingga wafat beliau (11 H).

2. Fase Perkembangan Fiqh Pertama: Masa Khulafa Rasyidin, 11-40 H.

3. Fase Perkembangan Fiqh Kedua: Masa Sahabat Yunior atau Tabi’in Senior sampai Permulaan Abad ke-2 Hijriyah.

4. Fase Perkembangan Fiqh Ketiga: dari Permulaan Abad ke-2 hingga Pertengahan Abad ke-4 Hijriyah.

5. Fase Perkembangan Fiqh Keempat: dari Pertengahan Abad ke-4 hingga Jatuhnya Baghdad tahun 656 H.

6. Fase Perkembangan Fiqh Kelima: dari Jatuhnya Baghdad hingga kini.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (33 votes, average: 8.00 out of 5)
Loading...
Lahir di Jakarta dan saat ini dianugerahi 4 orang putra-putri. Memiliki latar belakang pendidikan dari Madrasah Tarbiyah Al-Mushlihin, SMPN 56 Jakarta, SMAN 70 Jakarta, dan LIPIA Jakarta Fakultas Syariah. Saat ini bekerja sebagai Dosen di STEI SEBI dan STIU Al-Hikmah. Aktif di berbagai organisasi, antara lain pernah di amanahkan sebagai Ketua Majelis Syura pada LKI LIPIA Jakarta, Yayasan Bina Amal Islami, dan Staf Kaderisasi pada Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Pusat. Beberapa karya ilmiah pernah dihasilkannya, antara lain "Ilmu Ushul Fiqh, metode Penulisan Para Ulama Ushul Fiqh", "Tauhid dalam Surat Al-Ikhlash", dan "Menutup Aurat dan Pandangan Fiqh Ulama Tentangnya". Hobi utamanya adalah nasyid.

Lihat Juga

Fintech Bagi Muslim

Figure
Organization